7.

15.3K 2K 301
                                    

 7.

***

AUTHOR POV

Biasanya, setelah Banyu menikmati suasana malam seraya memperhatikan bulan di langit sana dirinya akan langsung kembali ke rumah. Tetapi, berbeda dengan malam ini, ia memutuskan akan menunggu Elisa pulang.

Banyu sudah tidak bisa menjemput wanita itu lagi ke tempatnya bekerja. Selain berbahaya bagi Banyu, Elisa juga memberikan alasan jika supir di sana bersedia mengantarkannya pulang. Semenjak itu, dirinya melarang Banyu untuk menjemputnya.

Tidak ada satu pun ucapan Elisa yang tidak Banyu iyakan, ia selalu menurutinya dan percaya sepenuhnya pada wanita itu. Tapi, apa yang dilihatnya kini jauh dari semua penilaiannya selama ini.

Elisa turun dari sebuah mobil mewah, tetapi bukan itu yang menjadi pokus Banyu. Wanita yang selama ini dihormatinya sepenuh hati itu kini tengah berdebat hebat dengan laki-laki yang mengantarnya pulang.

"Kalau kamu nggak mau tanggungjawab ya sudah. Aku bisa mengurusnya sendiri." Itu suara Elisa. Banyu semakin menajamkan pendengarannya.

"Nggak. Aku yakin itu anak si Banyu—Banyu itu kan? Kamu hanya memanfaatkan keadaan ini untuk memerasku." Yang ini suara laki-laki.

Sedang Banyu sendiri tengah duduk pada kursi kayu yang berada tepat di depan rumah Elisa. Ada sebuah pohon, ukurannya tidak terlalu besar tetapi berkat itu tidak ada yang melihat keberadaannya di sana.

"Jaga ucapanmu itu. Aku nggak semurahan itu yang bisa bebas tidur dengan laki-laki manapun—"

"Hahaha ... Pada nyatanya kamu perempuan murahan Elisa yang dengan mudahnya melemparkan tubuhmu padaku demi segepok uang."

"Iya. Dan aku hanya melakukannya sama kamu. Nggak dengan Banyu ataupun laki-laki lain."

"Bullshit El. Kamu kira aku akan percaya dengan omong kosongmu itu? Apa perlu aku ingetin, waktu yang kamu habisin bersama Banyu tiga kali lipat lebih banyak dibanding kebersamaan kita. Dan sekarang, dengan gak tau malunya kamu menyalahkanku atas kehamilanmu."

"Kamu nggak ngeti omongan orang atau gimana hah? Aku bilang—"

"Ya sudah. Gugurin anak itu. Kamu bilang itu anakku bukan?"

" ... "

"Aku pergi dulu."

Banyu masih membisu disana, memikirkan semuanya. Menatap nanar ke arah pintu rumah Elisa yang sudah tertutup rapat kembali disusul dengan lampu di dalam rumah yang dinyalakan.

"Aku pikir aku sudah mengenalmu dengan baik El," Banyu bergumam sendiri.

Bingung apa yang harus dilakukannya, Banyu pun lebih memilih merogoh ponsel dari saku celana untuk memastikan sesuatu. "Apa dia selalu pulang jam segini?"

Perasaan kecewa itu ada, tetapi hanya sebatas kecewa tidak sampai pada tahap sakit hati. Alih-alih merasa sakit hati Banyu lebih merasa kasihan pada wanita itu. Kalau Ibunya seperti itu, bagaimana nasib Jinan nanti?

***

"Kita harus bicara El."

Elisa yang baru keluar dari kamar mandi menghentikan langkahnya. Terkejut dengan kemunculan Banyu yang tiba-tiba. Padahal biasanya Banyu selalu mengtuk pintu terlebih dulu, tidak pernah bersikap tidak sopan seperti sekarang. Nyelonong masuk ke dalam rumah orang lain begitu saja.

Tetapi pikiran Elisa tidak tertuju ke sana, melainkan pada raut muka Banyu. "Wajah Mas pucet banget. Mas sakit?"

Banyu mundur seakan menghindar dan menepis pelan tangan Elisa yang hampir menyentuh keningnya. "Aku baik-baik aja," ujarnya.

Cahaya Bulan Untuk Sang Banyu [[Revisi+Repost]]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora