16: Takdir Kedua (Kehilangan Andrya)

Start from the beginning
                                    

"Tolong, jangan main-main sama alat-alat itu!" perintah Rea dalam hati. Ia memejamkan matanya agar bisa berinteraksi dengan makhluk di atas sana.

Tapi ternyata permohonan Rea tidak diindahkan oleh mereka. Di dalam sana, semakin jelas terdengar oleh Rea bagaimana suara derap langkah dan lari, bahkan tawa sampai akhirnya salah satu dari makhluk itu menyenggol setumpuk besi dan beton hingga bergelinding jatuh ke bawah.

"Rea, minggir!" teriak Andrya kala itu.

Rea mendongak, melihat satu-persatu besi dan beton berjatuhan. Tapi sebuah tangan mendorongnya, hingga tubuhnya terhuyung dan terlempar cukup jauh.

Demi Tuhan, tangan itu milik Andrya! Tubuh itu tidak sempat menghindar, besi-besi dan runtuhan beton berjatuhan mengenai tubuhnya, hingga terjatuh dan terjepit runtuhan itu.

Rea menjerit. Memanggil nama Andrya berkali-kali, membuat makhluk tak kasat mata di atas gedung itu tak berani memainkan alat-alat dari atas lagi. Mereka sama sekali tak berani menampakkan wujudnya di hadapan Rea setelah apa yang mereka lakukan.

"Setan brengsek! Terkutuk! Biadab!" semua umpatan demi umpatan Rea lontarkan, lantaran melihat Andrya yang sudah tak mampu lagi bergerak.

Tubuh Andrya kaku, darah mulai mengalir dari hidung dan memecahkan kepala Andrya, merembes ke luar serta membasahi aspal.

Rea menggeleng, meraung, hingga air mata meluncur dengan derasnya membasahi pipi merah itu. Dia melihat dengan jelas, bagaimana malaikat maut menghampiri jasad Andrya. Wujud yang amat sangat mengerikan itu membawa rantai untuk mengikat ruh Andrya.

Dan seolah ruh Andrya memaksakan sebuah interaksi. Bibirnya bergerak tak bersuara.

"Aku pergi, bahagia dengan hidupmu, Re."

Seketika itu raungan Rea semakin keras hingga suaranya serak. Tapi ruh Andrya tak mau menyahut. Rea menatap jasad Andrya yang sudah hampir tak berbentuk, beton dan besi bangunan semakin menjepit tubuh itu. Air mata terus mengalir di pipi Rea. Tapi tubuhnya tak kuasa untuk mengejar ruh Andrya yang perlahan menghilang bersama malaikat maut yang membawa ruh itu pergi.

Raungan Rea mengundang banyak saksi mata, mereka menghampiri Andrya, menarik kepayahan jasad itu dari reruntuhan.

Sunggu menyakitkan! Tubuh Rea menciut, napasnya semakin memburu dengan isakan tangisnya.

Sayangnya, kala itu Zenan datang terlambat, menghampiri jasad Andrya dengan tubuh lemas. Dia tak bisa melindungi kekasihnya itu. Dan satu hal yang pasti, Rea melihat ada sorot mata kekecewaan dari Zenan.

Kakaknya itu menghampiri jasad Andrya yang berlumur darah. Menatap nyalang pada Rea yang terbaring lemah tak bisa berbuat apapun dengan kelebihannya. Rea bisa melihat sorot itu menyayat kepercayaan Zenan pada Rea, membuang perlahan rasa simpatik pada adiknya yang tak bisa menggunakan anugerah indigo itu untuk menolong Andrya.

Dan saat Rea menyadari kekecewaan Zenan, saat itu juga dia tahu kalau kakaknya berubah. Bukan lagi Zenan yang masih peduli dengannya. Kasih sayang kakaknya mulai terkikis digantikan rasa kecewa.

***

"Kamu kenapa, Re?"

Pertanyaan Jasmin menyeret kesadaran Rea untuk menanggapi. Dia menggeleng, menghapus dengan cepat air mata yang mulai melintas dari mata indahnya itu.

Jasmin menengok pada Rea, meraih tangan anak itu dan menggenggamnya erat.

"Kamu nggak bisa bohong sama Kakak, Re. Ada apa? Kakak perhatiin, kamu diem aja sepanjang jalan. Bahu kamu gemetar, kakak bisa liat itu. Kamu kenapa?" cecar Jasmin.

"Aku inget Andrya, Kak. Tiba-tiba bayangan kematian dia muncul lagi."

Jasmin bergeming, merasakan napasnya yang tertahan karena pengakuan Rea. Jasmin tahu--sangat tahu, kalau kematian mantan pacar Zenan itu disaksikan langsung oleh anak itu dengan mata kepalanya sendiri. Beberapa kali Rea bercerita soal itu--tentang Andrya yang berusaha menyelamatkannya dari kejatuhan alat berat. Dan anak itu sempat mengeluh, seharusnya dialah yang mati, bukan Andrya.

Tapi Jasmin menampik pendapat itu. Tak ada yang bisa mencegah takdir, bukan?

Dan ketika Jasmin menanyakan hal serupa pada Zenan, kakak kandung Rea itu justru bersikap semakin dingin. Sorot tajam dari Zenan menyiratkan kalau mereka sungguh tidak akur, bukan hanya drama semata. Dan hal itu hanya karena permainan takdir yang Tuhan berikan untuk persaudaraan mereka.

"Jangan terus nyalahin takdir, Re. Andrya pergi lebih dulu karena udah seharusnya dia ninggalin kalian."

Rea mengembuskan napasnya kasar. Mencoba menyerap kalimat Jasmin padanya. Dia mengerjap, melirik pada Jasmin yang justru tersenyum padanya.

Senyum itu ... entah bagaimana caranya, Rea selalu melihat ada senyuman Andrya di dalam sana. Dan mata teduh yang menatapnya sekarang ... bulu mata lentik yang memancarkan kelembutan itu membuatnya tenang hanya dengan menatap matanya.

Pantas saja, sekarang Rea tahu jawabannya mengapa Zenan bisa dengan mudah menerima kehadiran Jasmin dan akrab dengan cewek di sampingnya itu!

Jawabannya tak lain hanya karena ... ah, dengan berat hati Rea harus mengakui kalau Jasmin sungguh mirip dengan Andrya. Yang berbeda hanya warna rambut dan bentuk hidungnya yang tak serupa dengan Andrya.

Hem, berbicara soal Andrya ... Rea sungguh tidak sabar untuk mengunjungi makam pacarnya Zenan yang sudah dianggapnya seperti kakak kandung itu.

"Kamu harus belajar ikhlas. Perbaikin yang di depan, bukan perbaikin yang ada di belakang."

Kalimat itu, masuk perlahan melalui pendengaran Rea, seolah berputar pada otaknya, menyerap perlahan melalui aliran darahnya dan mengendap di jantungnya. Hingga rasanya, kata-kata itu menusuk pelan urat jantungnya.

Jasmin benar, Rea harus belajar ikhlas. Dan belajar untuk yakin, kalau Andrya maupun bundanya akan bahagia di alam sana, kalau Rea bisa memperbaiki kebahagiaannya di sini.

==========================

13 Maret 2017

SatintailWhere stories live. Discover now