16: Takdir Kedua (Kehilangan Andrya)

1K 166 8
                                    

Satu yang tidak bisa aku cegah sebagai manusia biasa; kematian.

==========================

Masih terasa jelas bagaimana tamparan Zenan di pipi Rea. Kalau mengingat malam itu, rasanya Rea kesal sekaligus menyayangkan perilaku Zenan padanya. Bagaimana bisa, kebencian itu menghunus perasaan kakaknya hingga tangan itu tergerak untuk menyakitinya?

Rasanya Rea masih tak habis pikir dengan jalan pikiran Zenan yang terlihat semakin kacau.

Seperti yang diminta Zenan malam itu, kemarin Rea langsung mengunjungi makam bunda sehabis pulang sekolah. Setelahnya, Rea mengirimkan foto bergambar bunga Lily kesukaan bundanya pada Zenan. Sebagai bukti kalau dia menuruti kemauan kakaknya itu. Padahal, tanpa disuruh pun Rea pasti mengunjungi bundanya. Tapi sungguh, akal sehat Zenan sedang tidak sejalan akhir-akhir ini.

Ponselnya berdering, menampilkan nama Jasmin Faradina di layarnya.

"Besok jadi, nggak? Aku harus bilang apa lagi Re ke sutradara?" tanya Jasmin dari sebrang sana, tanpa basa-basi.

"Jadi. Tolong bilangin aja ke Pak Ruli, aku ijin shooting besok, ada urusan ke Bandung, bilang aja gitu. Tapi bener temenin, ya!" Rea meminta Jasmin menemaninya untuk mengunjungi makam Andrya, dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk mengunjungi calon--mantan kakak iparnya itu.

"Iya, bawel. Sekarang lagi dimana?"

"Di rumah lah, malem-malem gini. Untung aja nggak ada jadwal kegiatan."

Jasmin tertawa renyah di sebrang sana. "Yaudah, tidur sana. Besok kita berangkat pagi ya, biar bisa pulang sore. Kamu pasti ditunggu sama orang-orang di lokasi."

"Iya, Kak. Aku putus ya, see you!"

Rea malas menanggapi percakapan lainnya. Jadi, lebih baik langsung saja diputus sambungannya pada Jasmin. Kalau tidak, managernya itu pasti berkhotbah dengan jadwal Rea yang berantakan. Besok, jadwal shooting ftv terbaru sudah menunggunya.

Berniat untuk mencari kertas jadwal yang diberikan Jasmin di meja belajar, tatapannya justru teralih pada bingkai foto yang tertengger rapi di rak paling atas meja belajarnya.

Bukannya mengalihkan perhatian, dia malah meraih bingkai tersebut dan mengusapnya pelan. Kesalahan fatal, seharusnya Rea tahu itu. Karena sekarang dia melihat foto dirinya yang dirangkul oleh Zenan, dan tangan Zenan menggenggam Andrya. Lalu ketiganya tersenyum lebar pada kamera.

Rea sungguh bodoh! Seharusnya dia tahu kalau hal itu justru membawanya pada kejadian beberapa tahun silam. Dan ingatan itu berhasil menyeretnya hingga sesak perlahan menjalar memenuhi rongga paru-parunya.

***

Bagaimana bisa Rea melupakan kejadian mengerikan itu?

Ketika dentingan alat berat memenuhi pikirannya.

Kala itu fokusnya bercabang, bingung harus menghindar atau justru naik ke lantai atas untuk menghampiri makhluk kurang ajar yang tertawa-tawa di dalam gedung sana, mereka dengan sengaja memainkan besi-besi, seng, beton--apapun yang ada di dalam sana ketika melihat keberadaan Rea di sekitar mereka.

Calon gedung itu belum utuh, masih kerangka bangunan berupa tiang-tiang menjulang yang akan mencakar langit. Rea ingat betul, tujuan utama mereka datang ke tempat itu untuk menemani Zenan mencari bangunan yang sesuai bagi calon kafe yang akan dibangunnya.

Tapi naas, bukannya menemukan calon tempat untuk kafenya, mereka justru menghampiri maut Andrya yang kala itu berniat menolong Rea dari kejatuhan besi dan beton, yang malah meluncur mengenai kepala Andrya.

SatintailOnde histórias criam vida. Descubra agora