Part 8 - Kucing Baru Kirana

6K 843 122
                                    

"Ada lagi?" tanya Andre sembari mendorong troli.

"Bentar, kuingat-ingat dulu. Susu, popok, telur, apa lagi, ya? Oh iya, makanan kucingnya belum. Tolong ambilin, yang sak isi 7 kg satu, sak isi 3 kg satu."

Maka Andre berlalu menuju tempat makanan kucing, meninggalkan Kendra dengan Kirana dalam gendongan ibunya.

Siang ini mereka sedang berada di sebuah pusat perbelanjaan. Kirana senang sekali diajak berbelanja. Ia tertawa-tawa sambil menunjuk aneka warna yang ditemuinya seraya bergumam "Tatatu, eya" yang artinya Ayahku, (itu warna) merah atau "Bubutu, iyu" yang berarti Ibuku, (itu warna) biru.

Selain kebutuhan rumah tangga, Kendra juga tak lupa membeli makanan kucing. Kantong dengan berat 7 kg untuk kedua kucing di rumah orang tuanya yang bernama Marlo dan Marla, sedangkan kantong dengan berat 3 kg disimpan oleh Kendra, sekalipun ia tidak memelihara kucing di rumah.

Lalu makanan kucing itu untuk apa? Kendra memiliki kebiasaan selalu membawa dry food dalam tasnya kemana pun ia pergi. Dengan demikian, jika ia bertemu dengan kucing liar di jalan, ia bisa membagi makanan.

Selain itu, Kendra juga meletakkan 2 mangkok plastik di depan pagar rumahnya. Satu mangkok berisi makanan kucing, satu mangkok lagi berisi air bersih.

Menurut Kendra, jika ada kucing liar yang sedang lewat dalam kondisi kelaparan atau kehausan, kucing itu bisa mendapatkan makanan dan minuman. Meskipun tak jarang, makanan yang disediakan Kendra malah dimakan oleh kucing milik tetangga. Kucing milik tetangga yang kadang dikejar oleh Kirana dengan kaki mungilnya yang belum kokoh menapak ke tanah.

Dengan cara seperti ini, menurut Kendra ia bisa berbagi kasih dengan binatang yang tak memiliki tuan dan rumah sebagai tempat untuk pulang. Cara ini memang sederhana namun mampu membuat kenyang perut binatang yang sedang kelaparan.

Tak setiap orang mau repot-repot membawa dry food dalam tasnya kemana pun ia melangkah. Tetapi Kendra berbeda. Ia konsisten melakukan hal ini sejak lama. Itu pula yang membuat Kendra terlihat semakin istimewa di mata suaminya.

Tak lama, Andre sudah kembali dengan makanan kucing yang Kendra pesan.

"Ada lagi?" tanya Andre sambil memasukkan makanan kucing ke dalam troli.

"Udah kayaknya."

"Yakin?"

"Kin, kin," jawab Kirana sambil menganggukkan kepala.

Andre dan Kendra tertawa mendengar celotehan Kirana. Kirana sok tahu ah. Memangnya anak batita bisa yakin terhadap apa?

Setelah selesai berbelanja, keluarga kecil Ariobimo bergegas menuju ke tempat parkir. Setelah ini mereka bermaksud menuju ke kediaman orang tua Kendra untuk mengantarkan makanan kucing bagi Marlo dan Marla.

Ketika mereka sampai di gerbang pusat perbelanjaan, mata Kendra melihat seekor kucing berwarna kuning dan putih campur abu-abu sedang meringkuk di bawah rimbunnya tanaman. Maka Kendra meminta sang suami untuk berhenti.

Beginilah kebiasaan Kendra. Jika melihat kucing terlantar dan situasinya memungkinkan, ia akan berhenti untuk memberikan makanan. Setelah menikah, Andre pun juga kena imbasnya. Kapan saja Kendra meminta, Andre harus berhenti atau menerima risiko didiamkan oleh sang istri.

Andre sendiri tidak suka kucing. Tetapi permintaan Kendra bukanlah sesuatu yang sulit untuk dilakukan, meskipun acapkali mereka harus berhenti untuk waktu yang cukup lama karena entah dari mana datangnya, tahu-tahu sudah ada kucing-kucing lainnya yang berdatangan dan mengantri meminta makanan.

"Sebentar, ya. Kakak di mobil dulu sama Ayah."

Tak lama, Kendra sudah berjongkok dan asyik membelai si kucing yang seketika menjadi manja. Malahan, bukannya sibuk makan, kucing itu tampak lebih senang menempel-nempelkan badannya ke tangan Kendra, seolah ia ingin merasakan cinta.

Melihat ibunya sibuk dengan kucing, si kecil pun mulai rewel. Kirana meminta turun dari mobil agar bisa bermain kucing bersama sang ibu. Kalau sudah begini, Andre bisa apa. Mau tak mau ia hanya bisa mengalah. Ibu sama anak sama saja. Kalau sudah bertemu kucing, yang lain dianggap tak ada, termasuk sang ayah.

"Cing, cing!" seru Kirana dalam gendongan ayahnya.

Gadis kecil itu tampak tak sabar untuk bisa segera membelai kucing berwarna kuning, putih, dan abu-abu yang tampak manja dalam belaian sang ibu.

"Kucing nih, Kak," ujar Kendra dengan tawa ceria.

"Hahaha... Cing, Bubutu!" Kirana berseru.

Maka tak lama kemudian, ibu dan anak batitanya sudah sibuk bermain dengan seekor kucing tak bertuan, tanpa menghiraukan bahwa mereka sedang berada di tepi jalan. Kirana tampak asyik mengamati si kucing yang sedang makan. Menurut Kendra, kucing ini berjenis kelamin betina dan baru berusia sekitar 4 bulan.

"Wah, kucingnya pintar, Kak. Habis makannya."

"Hahaha... Cing, nanan."

"Iya, kucingnya makan. Kakak nanti di rumah juga harus habis ya makannya."

Kirana menganggukkan kepala sambil tertawa-tawa.

"Pulang yuk, 'kan udah habis makannya," ajak Andre sambil menyodorkan tissue antiseptik kepada Kendra.

"Ya udah kita pulang yuk, Kak," ujar Kendra sambil membersihan tangannya dan Kirana.

"Cing uyang?"

Kendra terdiam. Kirana mengajak kucing itu untuk pulang? Baru kali ini Kirana ingin membawa seekor kucing pulang. Biasanya Kirana hanya tertarik memberi makanan lalu pergi sambil tertawa-tawa.

"Nggak, Kak. Kucingnya nanti pulang ke rumahnya."

"Tak, tak. Cing uyang, Bubutu."

Andre dan Kendra saling pandang.

"Nggak Kak, kucingnya punya rumah. Nanti kucingnya pulang ke rumahnya sendiri, nggak pulang sama kita," Andre ikut membujuk sang putri.

"Tak, tak. Cing uyang, Tatatu."

"Pulang yuk, Nak. Besok kita kasih makan lagi kucingnya," bujuk Kendra sambil mendekap Kirana.

Tetapi entah kenapa, si kecil penurut itu kali ini tak mau mendengar bujukan ayah dan ibunya. Ia mulai berlinang air mata sambil menunjuk si kucing yang sedang meringkuk.

"Cing uyang, Bubutu. Cing uyang, Tatatu." Kirana menangis dengan pilu.

Gadis kecil itu terus menangis sambil menunjuk-nunjuk ke arah kucing meski Kendra sudah menutup pintu.

"Kok jadi nangis gini anak ibu? Anak ibu 'kan pintar. Besok kita kasih makan lagi kucingnya. Terus habis ini kita 'kan mau ke rumah kakek dan nenek, mau ketemu Marlo sama Marla. Kakak suka Marlo sama Marla 'kan?" Kendra mencoba menenangkan.

"Cing uyang, Bubutu," ucap Kirana sambil tersedu.

Andre sudah hendak menghidupkan mesin mobil ketika tiba-tiba lelaki itu berkata, "Ya udah, kucingnya dibawa pulang."

Kendra menatap Andre tak percaya. Ia semakin tak percaya ketika Andre turun dari mobil, mendekati si kucing kecil, mengangkatnya, dan membawa kucing itu masuk ke mobil mereka.

"Ayah?" Kendra menatap suaminya tak percaya.

Selama ini Andre tak mau menyentuh kucing. Marlo dan Marla saja Andre tak mau menyentuh, apalagi kucing liar. Andre juga tak setuju jika mereka memelihara binatang. Tetapi sekarang? Andre mengabulkan permintaan Kirana untuk membawa kucing kecil tadi pulang?

"Ya udah nggak apa-apa. Kakak kayaknya suka," sahut Andre santai.

"Terus mau ditaruh di mana? Kita juga nggak punya pasir untuk kucing."

"Gampang, nanti kita mampir ke pet shop dekat rumah. Biar si kakak bisa memilih sendiri kandang kucingnya mau warna apa."

Kendra tersenyum gembira, begitu juga dengan Kirana yang sudah berhenti tangisnya.

"Ayah kok so sweet banget sih? Padahal Ayah 'kan nggak mau pelihara binatang."

"Namanya juga laki-laki. Laki-laki bisanya apa sih selain mengalah?" sahut Andre sambil tertawa.

Maka mulai hari itu, Kirana memiliki seekor kucing peliharaan sebagai teman bermain. Bukan kucing ras seperti Marlo dan Marla, melainkan kucing lokal berjenis kelamin betina yang Kirana beri nama Caca.

*****
😺😸😻

Ketika Kakak Kehilangan KucingnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang