Part 3: Florist

664 92 6
                                    

Keo langsung mengangkat kepala. Terbelalak. Toby sedang memeriksa lagi dengan lebih cermat. Jantung Keo melompat-lompat bersamaan dengan tiap halaman dibalik. Sampai sampul belakang, Toby benar, tidak ada iris gepeng.

Jangan-jangan Noaki sudah sempat melihat bunga itu dan mengambilnya?

"Kamu yakin diselipkan di buku ini? Bukan buku yang lain?" Sebastien memberi ide.

Keo langsung membuka laci dan mengeluarkan semua bukunya. Dibantu Toby dan Seb, ia mencari iris. Mereka menemukan beberapa bunga lain yang sudah mengering. Tapi tidak ada Neomarica Candida.

"Tanyakan saja pada Noaki," kata Seb. Keo melotot mendengarnya. "Mungkin dia ambil dan buang."

"Noaki tidak akan mengganggu benda yang bukan miliknya," bantah Toby. Yang berarti juga yakin bukan Noaki si Misterius itu. "Noaki akan bilang pada Keo kalau menemukan apa pun di dalam buku. Setidaknya dia akan membiarkannya terselip di situ."

"Mungkin tadi ada yang lihat-lihat buku ini dan mengambil bunganya. Kalau ya, kemungkinan besar, dia salah satu teman Noaki yang bersama ke kantin." Seb mulai berteori. "Dan berarti dia berkepentingan dengan kamu, Keo."

"Hmm... bisa jadi." Keo senang mulai ada titik terang. "Sayangnya aku enggak tahu, siapa saja yang barengan Noa ke kantin tadi."

"Mudah saja. Tanya Noaki. Beres." Toby menepuk buku.

"Ya. Tanyakan Noaki siapa yang sempat pegang novel ini sewaktu mereka jalan ke kantin."

"Ada kemungkinan juga bunga itu jatuh di jalan tanpa mereka sadari, Seb." Toby memupuskan lagi harapan Keo. Tapi yang dikatakannya sama sekali tidak salah.

Sudahlah, Keo. Kamu tahu ini bukan Noaki. Jadi, lupakan saja bunga-bunga itu.

Bagaimana kalau benar Noa? Mungkin Noaki ingin menyampaikan sesuatu.

Cuma satu cara. Tanya Noaki. Beres.

Keo menghela napas. Membayangkannya saja bikin tangan kaki mendadak dingin. Tapi sejujurnya, ia takut kecewa. Lebih baik tidak tahu tapi masih ada harapan. Daripada tahu yang sebenarnya, dan ternyata....

SPARK feels you, Keo. SPARK jadi takut juga.

"Aku temani kamu tanya-tanya ke Noaki kalau mau," kata Seb, sambil menonjok bahunya. Lalu ia bangkit untuk kembali ke bangku sendiri. Waktu istirahat sudah habis.

Toby mengangguk. Menyerahkan novel, dan berbalik menghadap ke depan kelas.

Saat itu, Pak Hilal sudah melangkah masuk, pelajaran Matematika sekarang. Keo membenturkan lagi jidatnya ke meja. Dia baru saja menguasai Matematika kelas 5, eh sudah harus pusing lagi dengan banyak materi baru di kelas 6. Kapan ia akan bebas? Di sisi lain, secara khusus, Sebastien diberi soal-soal Matematika kelas 7 dan 8. Maksudnya agar Seb tidak merasa bosan. Tapi Seb selalu berhasil menyelesaikannya sebelum Pak Hilal tuntas menjelaskan pelajaran untuk kelas 6.

Akhirnya selalu begini, "Seb, sekarang kamu kerjakan saja apa yang ingin kamu kerjakan. Tapi lakukan dengan tenang."

Dunia memang tidak adil. Dan ia menjalani ketidakadilan itu dengan jantung berdetak terlalu keras sampai terasa sakit. SPARK, tenanglah. Keo mendesah.

Pulang sekolah, mereka bertiga menunggu Noaki dan Ajeng di tempat parkir sepeda. Sejak Lady dan si Kembar Wamena-Timika masuk SMP Generasi Merdeka, jarang sekali Formasi 8 bisa pulang bersama-sama. Selain karena gerbang SMP dan SD dibedakan, SMP juga pulang satu jam lebih lambat. Waktu awal-awal, tiga sahabat mereka masih suka mampir ke kantin SD atau main ke pinggir danau di belakang sekolah untuk sekadar melepas kangen. Tapi lama-kelamaan kesibukan sekolah menyulitkan itu. Dan mereka harus puas bertemu di akhir pekan atau liburan saja.

"Aku kangen si Kembar dan Lady," kata Keo. Menyuarakan isi hati sekaligus menutup kegugupan saat Noaki mendekat bersama Ajeng... dan satu teman lagi. Hati Keo mencelus karenanya. Itu Juliana, yang waktu kelas 5 di kelas Sevilla. Di kelas 6 Eiffel ini, Juliana menjadi dekat dengan Noaki dan Ajeng. Akhir-akhir ini, pulang sekolah sering bareng sampai jembatan lalu belok ke arah berlawanan dengan mereka semua. Itu berarti Keo harus menunda berbicara dengan Noaki sampai berpisah dengan Juliana.

"Hei Keo," sapa Juliana. "Halo Seb, Toby."

Berenam mereka bersepeda beriringan. Keo lebih banyak diam. Juliana mengimbangi kecepatannya. Dan untuk pertama kalinya, mengajak Keo mengobrol banyak. Tentang pelajaran, olah raga basket, film, buku, dan makanan. Ramai dan ceria. Bahkan tampak tidak peduli kalaupun Keo hanya menanggapi dengan ya dan tidak, menggeleng atau mengangguk. Keo memandang ke depan dengan iri. Noaki bersepeda bersama Toby. Seb dengan Ajeng.

Kamu terlalu sopan untuk meninggalkan Juliana. SPARK mulai mengomel. Cari akal, dong. Katanya mau bicara sama Noa?

Sebentar lagi. Nanti juga berpisah di jembatan.

"Kapan-kapan mainlah ke rumahku, Keo. Dari jembatan itu, belok kiri. Sekitar 500 meter. Ada kebun bunga dan green house. Sedang bermekaran cantik-cantik sekali. Banyak orang kota datang untuk membeli. Ibuku seorang florist, buka toko bunga di mal. Aku mau jadi seperti dia."

BUNGA!

Keo terbelalak, menoleh pada Juliana. Gadis itu tersenyum. Rambut panjangnya berkibaran tertiup angin. Keo jadi ingat, Juliana duduk bersama Noaki di kantin. Diakah pelakunya? Apa yang harus dilakukannya? Langsung bertanya? Jembatan sudah terlihat. Now or never.

Keo sengaja melambatkan sepeda. Ketika jarak dengan Noaki dan kawan-kawan menjauh, Keo berhenti. Juliana mengikutinya. "Julie, boleh aku tanya sesuatu?"

"Tentu. Mau tanya apa?"

Keo&Noaki #6.5: Bunga Berbunga Rasa (Complete)Where stories live. Discover now