Part 15

38.9K 638 12
                                    

Mentari sudah mengintip mengawali pagi yang sunyi. Tanah membasah bercampur embun yang mendinginkan udara. Siapa saja, pasti enggan untuk bangun pagi itu. Tapi tidak denganku. Pagi itu, Saras memaksaku untuk bangun. Terutama membangunkan kejantananku. Kami berdua keluar kamar tanpa perasaan malu. Saling telanjang satu sama lain. Saling memandang barang masing-masing.

Kuperhatikan belahan pantat dan bongkahan dada yang menggantung ketika Ia merebus air untuk menyeduh kopi untukku. Lalu, aku melangkah mendekatinya dan mendekap tubuhnya yang terpapar panas dari tungku. Kudaratkan bibirku di bahunya dan bergeser ke arah pangkal lehernya. Kuulangi hal itu selama enam kali, dan kehentikan ketika Ia mendesah menahan geli. Tak lupa, tanganku meremas bukit kembarnya yang terus membesar. Kulit putingnya yang berwarna merah meluas dan mengeras. Jemariku memilin miliknya, seakan miliknya adalah milikku.

"Jaaanngggaaannn! Kau harus pergi!" ujarnya seraya berbalik dengan kedua lengannya memisahkan dekapanku. Pipinya membulat kemerahan seperti menyungingkan senyum dan rengekan palsu.

Aku tahu, ini bukan saat yang tak tepat untukku. Dengan sekali helaan nafas, aku berkata, "Hmn, baik! Tapi..."

Tatapannya berubah ketika ada 'Tapi' dikalimatku. "Tapi, apa?"

"Jaga dirimu dan putrimu baik-baik!" ujarku sesaat sebelum mengecup bibirnya dan merasakan setiap detil bibirnya dengan bibirku. Lalu kecupanku beralih ke pipinya dan kuseret bibirku melewati lekukan lehernya yang jenjang.

Lalu, tepat di depan dadanya. aku berkata, "Jaga juga biji kopiku!" Dengan sekali gigitan, kulumat puting susunya yang telah mengeras. Kujulurkan lidahku memainkan daging kecil keras nan elastis itu. Kulakukan itu di kedua puting susunya.

Setelah memainkan bongkahan dadanya, bibirku mengarah keperutnya dan menuju selangkangannya yang tertutup bulu halus. Sejenak aku melirik ke wajahnya yang mendengus nafsu. Lalu aku berkata, "Jangan lupa jaga rumahku!" Kujularkan lidahku menyapu kelentitnya. Aroma anyir dan rasa panas pegah terasa di lidahku. Kugoyangkan lidahku cepat sehingga memberikan reaksi pada pinggulnya yang seakan menyodorkan rongga bawah itu padaku.

Aku memang tak sedang ingin bercinta pagi ini. Jika kuteruskan, bisa keblabasan dan aku urung ke kota. Dengan sekali kecupan, aku mengakhiri rangsangan pada dirinya. Lalu, aku berdiri tegak dan berkata padanya.

"Mengerti?" tanyaku sambil menyentuh dagunya dengan ujung jariku.

"He-em." Jawabnya singkat dengan bibir sedikit terbuka disertai anggukan pelan.

Aku meninggalkannya berdiri dinsamping tungku dengan hasrat membekas tak terpuaskan. Kuguyur badanku dengan air sumur. Sejenak, nafsu-nafsuku luntur bersama dengan kucuran air yang menetes ke tanah. Rasanya begitu dingin seakan memompa jantung lebih cepat lagi.

Setelah selesei membersihkan badanku dan mempersiapkan semuanya. Aku berpamitan dengan Saras, tentu saja dengan ciuman mesra layaknya suami istri yang akan berpisah dalam waktu yang lama. Sebenarnya, kami berdua sama-sama menahan gejolak yang mendera di dalam diri. Namun hari ini, kami harus sama-sama menahannya. Aku menitipkan salam kepada Niar yang masih tertidur pulas padanya. Dan dengan sekali lecutan, kudaku berlari pelan menembus jalanan desa.

Pagi hari, Desa sangat sepi. Begitu sepi entah penduduknya belum bangun atau sudah berangkat ke ladang. Desa kami larut dalam kesibukan sendiri-sendiri karena jarak memisahkan rumah satu dengan rumah yang lain.

Kulalui kesendirian sementaraku dengan bayang kepeng emas yang akan kubelikan pakaian untuk Saras dan Niar. Aku berpikir untuk pergi ke butik Mbok Rondo di kota Ardaka. Butik yang menjual berlusin baju wanita dan kebanyakan pelanggannya adalah para pelacur kota. Aku yakin jika aku menggeledah lemari milik Saras di rumahnya, aku pasti akan menemukan puluhan pakaian yang menggugah selera para pria.

Perjalananku hari ini tak ada yang mengejutkan. Sejenak, kuberi makan kudaku yang tertaut di sebuah pohon. Tak lupa, aku juga mengisi perutku. Cuaca sangat cerah sehingga cahaya mentari masih menghiasi langit senja di sore itu. Butuh waktu tiga hari berkuda untuk sampai di kota Ardaka. Kota yang penuh dengan orang berlalu-lalang dan pedagang menjajakan.

•••

Tiga hari kemudian,

Aku telah sampai di sebuah gerbang. Gerbang yang terbuat dari batu yang kokoh dengan pintu kayu. Biasanya, gerbang itu selalu terbuka jika para penjaga melihat pendatang dari jauh. Mereka membuka dan sekedar memeriksa dan mengambil sedikit pajak yang sebenarnya adalah upeti sitaan paksa. Tapi gerbang kota yang dipenuhi orang korup tak juga terbuka saat hidung kudaku hampir menyentuh pintu kayunya.

Biasanya seorang penjaga berdiri di belakang dinding kota. Ialah yang menyuruh penjaga lainnya untuk membukakan pintu. Namun, tak ada seorangpun di balik dinding tebal yang kebal pedang itu. Aku berpikir, mungkin penjaganya sedang sibuk atau pergi, sehingga mereka tak melihatku datang. Kusiapkan lima kepeng perunggu sebagai bayaran atas usaha mereka mendorong pintu kayu yang besar.

Kuketuk pintu kayu itu sekeras mungkin. Sehingga menimbulkan kegaduhan di dalam. Lalu, sebuah jendela kecil selebar jengkal bergeser dan munculah wajah seseorang dengan alis tebal, mata sedikit katarak dengan hiasan codet membelah pipinya. Wajahnya tegas seperti melihat harimau yang siap memangsa. Mungkin luka codetnya juga bekas cakaran harimau juga.

"Siapa kau?" Tanyanya garang.

"Namaku Ahras, aku dari desa Banduwangi."

"Mau apa kau kesini?"

"Aku ingin berdagang," ujarku seraya mengacungkan lima kepeng perunggu tepat di depan hidungnya.

Matanya yang bulat terlihat silau pada kepingan perunggu yang sebenarnya berwarna merah buram dan penuh noda. Lalu, tangannya menjulur dan meraih paksa kepengan perunggu itu.

"Buka gerbangnya!" Ia berteriak dan seketika bunyi deritan katrol kayu terdengar. Perlahan tapi pasti, pintu kota terbuka.

Aku menuntun kudaku beberapa meter kedalam gerbang. Dari kejauhan terlihat keramaian rumah-rumah penduduk yang saling berjajar. Namun, perjalananku terhenti disaat aku baru saja memasuki gerbang. Seorang Penjaga menghentikanku,

"Tunggu!" Katanya seraya mengambil sebuah kayu tatakan berisi perkamen kertas lengkap dengan bulu angsa dan tintanya. "Siapa namamu?"

"Ahras," jawabku. "Teman anda sudah menanyakannya tadi."

Bulu angsa itu menari di atas kertas setelah sebelumnya ujungnya tercelup di kubangan tinta. Sepertinya Ia sedang mencatat namaku.

"Kau berasal dari mana?"

"Dari desa Banduwangi."

"Apa gerangan kau kemari?"

"Aku ingin berdagang."

"Apa yang kau perdagangkan?"

Setelah melalui proses tanya jawab yang tak masuk akal dari penjaga. Aku terkejut ketika penjaga itu menanyakan sesuatu padaku.

"Apa kau melihat seorang wanita? rambutnya panjang, kulitnya kuning langsat. Ia bersama seorang gadis kecil berusia sekitar 10 tahun." Ujarnya seraya tangannya mengambang, seakan mengukur tinggi badan Niar.

Jantungku seperti menceplos keluar dan nafasku berantakan. Lalu aku menjawabnya, "Tidak, aku tak bertemu siapapun di hutan."

"Oh, baiklah."

Hatiku lega ketika penjaga itu tak sempat melihat wajahku memerah. Aku kembali nafasku agar Ia tak curiga.

"Biaya masuknya 10 kepeng perunggu." Ujarnya seraya menengadahkan tangannya kepadaku. Penjaga itu seperti pengemis yang meminta-minta secara paksa.

"Tapi tadi temanmu sudah menerima uang dariku."

"Itukan temanku, aku belum!" Ujarnya seraya menatap keji terhadapku.

Aku tak ingin kena masalah disini. Alhasil, dengan terpaksa aku merogoh kocekku untuk membayar upeti yang entah dibuat apa. Sungguh miris memang tinggal di kota ini. Banyak penjaga yang semena-mena dan menindas rakyat kecil. Terutama para pedagang, mereka berdalih bahwa para pedagang mempunyai banyak kepeng. Namun tidak semua, banyak pedagang yang merugi karena kurangnya para pembeli.

Sak Wijining Dino (Pada Suatu Hari)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang