Part 7

57.5K 955 19
                                    

Malam yang dingin menghinggapi diriku yang terbaring sendirian di ruang depan. Kubiarkan Saras dan putrinya tidur di kamar karena di kamar terdapat ranjang yang siap menghangatkan tubuh mereka. Beberapa kali kudengar, Saras merintih karena puting susunya digigit oleh putrinya yang belum bisa meninggalkan induk semangnya.

Aku yang penasaran, bangkit dan keluar ke halaman untuk menghisap tembakau yang kubeli di kota. Sejenak asap yang nikmat itu menenangkan otakku. Semuanya ingatanku berputar mengingat kembali setiap pergumulan dengan Saras yang menyuruhku bersabar.

Sesaat lagi, Ia akan keluar dari kamarnya dan mengejang-kejang di pelukanku. Pucuk dicinta ulampun tiba, Saras keluar dari kamar dan menghampiriku yang duduk di teras rumah. Tanpa kata, wajahnya yang tersipu malu duduk disampingku. Aku tak ingin cepat-cepat karena hal itu suatu saat akan membuatku bosan. Aku ingin mencari setiap detil cerita hidupnya yang dipenuhi nafsu-nafsu birahi.

"Niar sudah tidur!" ujarku seraya menhembuskan asap tembakau ke udara.

"Ya." Jawabnya singkat.

"Boleh aku bertanya?"

Ia mengangguk pelan.

"Mnnn, apakah Niar selalu memainkan puting susumu ketika akan tidur?"

Ia menoleh dengan tatapan malu kepadaku. Seharusnya aku tak bertanya se-vulgar itu. Namun ini rumahku, ini kerajaanku, Jadi aku bebas bertanya kepadaku.

"Ya, selalu."

"Kenapa kau tak menyapihnya."

"Sebenarnya, aku suka jika ada seseorang memainkan putingku." Jawaban macam apa itu. Ia sepertinya ketagihan apabila ada yang memainkan puting susunya.

"Hmn, kenapa seperti itu?" tanyaku agar Ia bercerita lebih mendetail.

"Itu karena sejak dulu, rasanya nikmat jika ada seseorang memainkan puting susuku."

Aku mematikan tembakauku dan menggeser posisi dudukku mendekatinya.

"Kalau di pegang seperti ini!" ujarku seraya meraih buah dadanya yang mengkal. "Kau suka?"

Ia mendengus pelan dan mengubah posisi tubuhnya. Sekarang Ia duduk tegak dengan dada yang membusung seakan membiarkanku bermain dengan bongkahan dadanya.

"Pijat seperti itu, ahh." Ia mulai meracau. Aku tetap memijatnya perlahan dan sesekali mencubit bagian putingnya yang mengeras.

Aku meloloskan kainnya dan akupun tenggelam di dalam kedua bukit nan kenyal itu. Tak segitu saja, kuangkat tubuh Saras agar duduk di pangkuanku, "Semoga saja, bangku panjang dari kayu ini buatan kakekku ini dapat menahan berat badan kami berdua."

Liurku bagai cairan pelumas yang membasahi setiap jengkal bagian dada dan leher Saras yang mengkal dan jenjang. Kain jarik tak utuh lagi menutupi tubuhnya yang berkeringat karena luapan nafsunya tak terbantahkan.

Semakin lama, Ia semakin meracau tak karuan. Desahannya mendesah seperti orang kepedasan, dan desisannya bagai ular yang siap menerkam mangsa. Punggulnya bergerak-gerak, sehingga menggesek bagian kejantananku yang masih terbungkus celana.

Ia semakin meracau ketika gigiku sedikit menyentuh bagian pusat bukit kembar nan kenyal itu. Sehingga menimbulkan rasa nyeri sekaligus geli yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata.

Iringan suara serangga malam nyaris tak terdengarkan karena desahan Saras. Sampai akhirnya, aku menuntunnya untuk masuk ke dalam rumah.

"Ahhhh,,, Di dalam saja, disini dingin."

Dengan tatapan sayu dan pipi yang memerah, Ia mengangguk dan mencoba mengatur nafasnya yang sengal. Kami berdua masuk ke dalam rumah.

Udara dingin tak begitu menusuk lagi ketika kututup pintu tua rumahku, setelah sebelumnya aku mengintip dari balik tirai kain milik nenekku.

Sak Wijining Dino (Pada Suatu Hari)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang