1. Matsu yang Menghilang

Start from the beginning
                                    

Pagi hari di akhir pekan, waktu tepat untuk menikmati suasana. Sofia tidak bisa memiliki waktu lebih luang, bila paman memintanya bekerja. Ia hampir saja meledak bagai balon kelebihan nitrogen, terhimpit pipih setipis sashimi. Kalau saja bukan di negeri orang, ia tak akan sepatuh ini pada pamannya. Kalau saja tidak ada hiburan di toko, pasti ia membeku layu setua ibu tiri Rapunzel.

Dalam setiap kesulitan terselip kemudahan, dalam setiap tekanan tercipta kelucuan. Filosofi itu didapatnya saat berkutat kedinginan, beberapa bulan lalu ketika menggigil di depan kaca wastafel apartemen paman. Wajahnya yang kuyu dan pucat tampak lucu dalam kubangan busa pasta gigi. Ia mentertawakan diri sendiri dan sejak saat itu, bertekad, akan selalu mencari cara untuk tertawa meski pamannya lebih menakutkan dari Toyotomi Hideyoshi. Memangnya di Fukuoka ini hanya pamannya satu-satunya sosok yang ditemuinya?

Sofia melirik pergelangan tangan. Sudah jam sembilan lebih sedikit. Bila musim dingin, waktu seperti ini terlalu dini untuk beraktivitas. Tapi di musim semi, jam sembilan lebih sekian belas menit seharusnya mulai dipenuhi kicau orang-orang yang lalu lalang di jalan atau masuk ke tokonya.

Biasanya, ada sosok unik menyambanginya.

Diam. Tegak. Tenang. Seperti matsu di tepian pantai Karatsu. Ia tidak banyak berkata-kata. Hanya mengantar barang, menyerahkan faktur, menyelesaikan urusan keuangan, lalu berlalu begitu saja. Seingat Sofia, sosok itu hanya pernah berkata-kata beberapa patah kalimat. Gadis itu bahkan menyangka ia bisu, tuli, atau keduanya; sampai Sofia mendengarnya bersenandung. Tidak, tidak. Tepatnya menyanyi. Mungkin, ia sendiri tak sadar mengeluarkan suara sebab kedua telinganya tersumbat headset. Sofia mengenal baik lagu yang dinyanyikannya hingga ketika mereka berhadapan di meja kasir, sontak tanpa sadar Sofia pun berucap,

"Fukai mori?"

Untung pemuda itu melepas headsetnya, hingga ia mendengar Sofia berucap. Lalu mereka bertukar sapa. Selanjutnya pertemuan-pertemuan lebih hangat walau tak lebih dari sekedar senyuman, anggukan dan kalimat diskusi singkat.

Sofia bahkan tak tahu namanya, kecuali menyebutnya si-fukai mori. Kepada pamannya, Sofia menyebut si fukai mori telah menyerahkan barang. Fukai mori telah mengambil uang. Fukai mori tidak bisa mengantar barang beberapa pekan sebab harus menyelenggarakan matsuri bersama keluarganya. Fukai mori bisa menyanyi dan fukai mori ternyata makhluk menyenangkan meski lebih banyak membisu.

"Ya, ampun!" paman Sofia takjub. "Sembarangan ganti nama orang. Dia Yamagata Isao."

Sofia menyimpan nama itu dalam hati. Tak berani memanggil pemuda itu dengan nama sebenarnya, sebab mereka memang belum pernah saling bertukar nama! Tak dapat dipungkiri, Sofia ingin mengenalnya lebih jauh. Setidaknya ingin tahu, apakah Yamagata Isao benar-benar namanya. Jangan-jangan paman sok tau dan nama pemuda itu sebenarnya fukai mori. Hahaha.

Sayangnya, beberapa pekan ia tak hadir. Si matsu, fukai mori, atau Yamagata Isao menghilang usai pamit akan menyelenggarakan matsuri. Sofia tenggelam dalam kesibukan, tenggelam dalam studinya dan juga arahan ketat pamannya yang lebih teliti dari perempuan manapun di atas muka bumi. Kadang-kadang, gadis itu berpikir, jangan-jangan ada jiwa yang tertukar tempat. Ia merasa tak mengapa berantakan sedikit (atau bahkan banyak!), namun jangan sampai pamannya melihat pasta bawang putih tercecer di lantai dapur atau wajan datar tidak tersusun sesuai ukuran kecil ke besar. Dinding apartemen mereka bisa jebol mendengar omelan paman!

Hm, lantas kemana si fukai mori?

Sofia tidak terlalu keberatan ia menghilang, sebab sosok unik lain hadir menggantikan. Pemuda yang tak kalah asing dan menyimpan tanda tanya, mengatakan sebagai teman si Isao (jadi benar namanya Isao!) sepanjang ia tidak bekerja. Sofia menerima saja hantaran barang, merapikannya di rak, mencatat barang keluar masuk dan menyerahkan uang penjualan pada si pengganti Isao.

Polaris FukuokaWhere stories live. Discover now