Enam

3K 466 42
                                    

Tiara dan El mematungkan diri tanpa sekalipun bicara. Keduanya diam, meski Tiara berkali-kali menyunggingkan senyum---El membalasnya dengan mendesis.
Wajahnya muram karena kehujanan, hal tersebut tak akan terjadi jika Tiara tidak mendadak mengganti tempat bertemu. Alhasil, El harus bolak-balik restoran-mobil tanpa membawa payung.

Saat tiba di tempat yang sudah dijanjikan oleh penyewa kosan, El harus mengendalikan emosinya lebih teratur. Penyewa kosan miliknya adalah  perempuan itu. Perempuan 1500 dolar yang pernah El bayar untuk pelukan semalam.

Tiara terlihat terkejut namun tubuhnya lebih tenang. Wajahnya tetap menawan dengan polesan make up yang tidak terlalu tebal. Sambil menghabiskan minuman yang sudah ia pesan, Tiara menunjuk kursi di samping dan mempersilahkan El untuk duduk.

"Mau pesan apa?"

"Eggak usah." Sahut El dengan cepat. Tangannya merebut tisu di meja dan mengusap wajahnya yang basah.

"Kehujanan ya?"

"Kelihatannya gimana?"

Keduanya saling menatap. Tiara sempat mengerjap beberapa saat sampai akhirnya El mengeluarkan berkas dari tasnya.

"Jadi kamu temannya pak Burhan?" Tanya El setengah basa-basi. Matanya neneliti berkas.

"Teman tidur, sih."

Jawab Tiara sambil tertawa, mengamati wajah mantan-teman-kencannya beberapa hari yang lalu. 1500 dolar untuk satu pelukan. Tersisa 4 malam untuk berpelukan, no refund, ditolak mentah-mentah oleh El tanpa meninggalkan nomor handphone dan identitas. Tapi sekarang? Mereka kembali bertemu untuk kedua kalinya sebagai pemilik dan penyewa kos. Menarik, bukan?

"Kamu baru satu bulan menempati kamar dan sudah dibayar pak Burhan untuk 3 tahun. Lumayan banyak, tapi saya hanya bisa mengembalikan 80% dari keseluruhan uang yang akan di-refund. Bagaimana?"

El menyerahkan berkas kepada Tiara untuk ditanda-tangani. Namun Tiara tidak menggubris, matanya terus menatap ke arah El.

"Jadi nama kamu Ela?"

"Silahkan ditanda-tangani-----"

"Mikhaela Wiba yang tadi pagi mengajar di kelas saya kan?"

Sontak El berhenti mengurus berkas dan mendongakkan kepalanya. Tiara menjulurkan setengah-lidah dengan tatapan menggoda, seolah-olah ia memenangkan pertandingan dalam jumlah yang banyak.

"Sudah tahu sejak kemarin, Om Burhan kasih foto kamu sewaktu ada acara bisnis di Bali. Sengaja bolos kuliah biar malam ini bisa ketemu kamu, kena deh ~"

El buru-buru membuyarkan diri dari lamunan dan kembali menyerahkan berkas.

"Oke. Silahkan ditanda-tangani---"

"Eggak mau."

Sahut Tiara cepat, tiba-tiba ia berdiri dan mengeluarkan uang untuk membayar minuman di meja.

"A-apa?"

"Aku nggak jadi refund."

Kali ini suasana bertambah sesak. El ikut berdiri dan menyayangkan sikap Tiara yang tiba-tiba membatalkan refund-nya.

"Emang kenapa? Enggak boleh, ya? Aku cuma memastikan dan ingin ketemu sama pemilik kos aja, kok. Harusnya seneng kan aku tetep sewa kosanmu?"

El mengatupkan bibir. Tangannya terangkat, persis seperti perampok yang menyerahkan diri pada pihak berwajib.

"Anyway, jangan kasih cuma-cuma untuk kemarin, ya. Kamu harus ambil 4 kali pelukan lagi sama aku. Ok?"

Tiara mendorong kursi untuk segera pergi dari situ. Namun El bergegas menarik tangannya dan balik bertanya ;

"Kamu pengen apa dari saya, Tiara?"

Keduanya saling menatap, kali ini lebih dalam. Tiara nyaris terhuyung karena El menariknya dengan paksa.

"Kamu ada niat buat menguras uang saya, ya?"

Pertanyaan itu justru membuat Tiara betah menatap El. Terus saja mereka diam, tidak peduli betapa ramainya manusia berlalu-lalang di belakang mereka---Tiara tidak sekalipun marah dengan ucapan El.

"Masih banyak sumber uang yang bisa aku kuras. Enggak cuma kantong kamu aja."

"Kalau begitu stop---"

"Saya nggak akan stop sebelum kamu ambil refund. 4 malam, 4 kali berpelukan, anytime kalau kamu butuh---."

Napas Tiara memburu. Ia tak pernah sekeras ini  pada kepada mantan teman kencannya. Hanya saja.......

El mendenguskan napas, kalimat tak terduga terlontar begitu saja dari mulutnya ;

"Dasar pelacur."

Tiara terkejut, sontak menarik tangannya dengan kasar. Meninggalkan El yang masih mematung di tempatnya. Merasa kesal, merasa bodoh, merasa terpojokkan, atau lebih parahnya lagi---merasa bersalah.

Tiara memburu kakinya keluar dari restoran dan menuju ke parkiran. El mengejarnya. Beberapa kali memanggil namun Tiara tidak menggubrisnya.

"Tiara..."

"Tiara!"

"Apa untungnya kamu ngejar aku, hah?"

Tiara kehabisan sabar, membalikkan badan dan melihat El terengah-engah di depannya.

"Pulang naik apa?"

"Aku bawa mobilnya Burhan." Sambar Tiara sambil menunjuk mobil di sebelahnya.

"Mending kamu pergi, deh. Enggak usah buang waktu ngurusin pelacur sepertiku---"

Belum selesai mengamuk, Tiara terkesiap tatkala El menarik dan merengkuhnya dalam pelukan.

"Apa ini cukup?"

Bisik El lembut. Ia memastikan Tiara memahami pelukannya.

"Aku enggak kepingin kamu membahas perkara 1500 dolar kemarin. Malam itu dan pelukan saat ini---itu sudah cukup. Okay?"

Tiara tidak menjawab, napasnya memburu seiring El memperkuat pelukannya.

Di parkiran mobil, ditemani gerimis hujan yang tidak kunjung membesar, d Tiara menaruh kedua tangannya di pinggang El. Mengangguk berat dan menganggap  pelukan ini sebagai yang terakhir....

Lunas.

Stay Where stories live. Discover now