BAB 2

334 9 0
                                    

Daun yang jatuh tidak pernah membenci angin. Air hujan yang jatuh pun tidak pernah membenci langit. Jadi, pada bagian mana aku harus membencimu di saat aku sendiri yang menginginkan diriku jatuh pada mata teduh yang kau punya?

***

Kata orang, jatuh cinta itu tanpa alasan. Tapi Alina tidak. Ia jatuh cinta pada Riki karena beberapa alasan.

Pertama, Riki itu idaman, selain sikapnya yang dewasa dan menyenangkan, Riki itu selalu apa adanya. Kedua, Riki itu pintar dan sudah memiliki gambaran untuk sukses kedepannya, Ia ingin menjadi arsitek. Ketiga, Riki itu sopan, friendly, pokoknya semua hal baik ada di dirinya.

Jadi, bagaimana bisa Alina tidak jatuh cinta pada sosok tinggi tegap Riki?

Memang di dunia ini tidak ada yang sempurna, tapi di dunia Alina. Riki adalah sempurna.

Dengan rambut yang di jepit kebelakang sebagian, dan poni yang menghiasi dahinya. Alina mengamati lekat-lekat gambar di ponsel miliknya yang Ia ambil secara diam-diam saat sosok yang selalu Ia kagumi sedang menempelkan sesuatu di mading sekolah.

Begini saja, sudah mampu membuat Alina tersenyum. Hah! Jatuh cinta diam-diam memang selalu punya cara sendiri untuk membuat orang itu senang dan lupa dengan realita.

Gadis itu sedang duduk di balkon kamarnya dengan memakai baju tidur. Jarinya masih asik menari di atas layar persegi panjang yang menampilkan banyak gambar lelaki yang Ia kagumi.

Hingga suara teriakan dari luar kamarnya menginterupsi.

Alina meniup poninya dengan sedikit kesal. Ia tahu siapa itu, pasti adiknya.

Dengan malas, Alina turun dari kursi lalu berjalan ke arah pintu kamar.

"apa?"

"Fajar mau main PS di sini, boleh kan kak?"

"emang Mama sama Papa belum pulang kerja?"

Rangga, adiknya yang baru kelas satu sekolah menengah pertama menggeleng. Sebenarnya Alina sudah bisa menebak, jadi pertanyaan tadi hanyalah basa-basi saja.

"yaudah, tapi jangan lama-lama. Udah malem. Nanti Fajar di omelin sama tante Fitri"

Adik lelakinya tersenyum lebar, sambil bersikap hormat kepada Alina karena izinnya. Lalu berlari pergi meninggalkan Alina yang masih berdiri di ambang pintu.

Alina tahu jika Rangga sedang kesepian. Atau bahkan selalu kesepian. Karena Papa dan Mama nya selalu disibukkan dengan pekerjaan. Seakan-akan sedang berlomba untuk mendapatkan gelar siapa yang lebih unggul dalam mencari uang untuk keluarga.

Alina sendiri tidak selalu bisa menemani Rangga, karena Alina sendiri pun merasakan kesepian.

Hal ini membuat Alina lelah. Lebih tepatnya lelah hati melihat tingkah kedua orangtuanya yang terlalu terobsesi dengan harta.

Sampai-sampai tidak ada waktu untuk berkumpul dengan keluarga. Atau paling tidak, memberikan perhatian dan kasih sayang seperti dulu. Tentu, Alina dan Rangga masih membutuhkan hal itu. Bukan hanya harta yang mereka berdua butuhkan.

Tapi yasudah, setidaknya kedua orangtuanya masih tentram dan tahu kemana mereka harus pulang.

Alina tidak lagi berminat untuk melanjutkan aktifitas yang terganggu tadi, Ia melangkahkan kakinya untuk turun ke bawah. Melihat adiknya dengan anak tetangga yang kini sudah asik bermain di ruang keluarga.

"mbak Ocha ada di rumah, Jar?"

Alina ikut bergabung. Duduk di sofa sedangkan kedua anak lelaki itu duduk di atas karpet.

ALINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang