IX

61 4 0
                                    

Aku duduk di Starbuck menunggu Tara berganti pakaian. Saat duduk santai sambil menyeruput kopiku, seseorang datang di depanku. Jo. Siapa yang membocorkan keberadaanku. Dia menyeretku, aku menemukan Tara yang memisahkan aku dengan Jo tapi ngga bisa.

"Biar gue ngomong sama Tara dulu."

"Nduk aku ngomong sama dia bentar, ntar tak jemput, jangan ngabarin siapapun oke?"

"Ati-ati mbak telpon aku."

Dia membawaku ke hotel paling dekat dengan Bandara. Check In sebentar lalu dia menyeretku, dan kopernya bersamaan, aku rindu kamu gandeng, aku rindu berlindung di belakangmu Jo, aku rindu kamu bela saat aku bareng kamu. Air mataku sudah di pelupuk mata, aku berharap ngga akan tumpah sebelum saatnya.

"Lo boleh hancurin gue semau elo, tapi jangan orang tua kita." dia membentakku, hal yang sama sekali baru bagiku, semarahnya dia ngga akan pernah membentakku. Dia bahkan ngga berusaha membuka tirai dan sebagainya dia langsung mendekat ke jendela dan membentakku.

"Gue sama Cia ngga pernah ada apa-apa dari dulu, cuman deket, gue nganggep dia adek kaya ke elo, gue lebih sayang ke elo, tapi elo dengan bodohnya ikut apa yang Cia bilang, gue yang pingin nembak elo duluan Ketzia please, laki-laki punya ego, dan kenapa elo ngegores ego laki-laki gue dengan nembak gue duluan? Lo menghindar, lo ngga mau jadi pilot cuman karena ngga mau ketemu gue, jadi adik tingkat gue walau elo keterima, gue selalu nyoba ketemu elo tapi elo menghindar, sekolah di luar lah, ikut oom iyan cuman bentar minta dipindah, lo ngga pernah dewasa, lo tau kalo lo kasih kesempatan gue dari dulu sekarang mungkin kita udah punya anak, terbang bareng, orang tua kita ngga perlu ada yang terbaring di rumah sakit, stress mikirin anak dan calon mantunya gila, gue ngga pernah ada apa-apa sama Cia inget itu, inget... Gue cape hadepi orang tua kita, sedang lo enak-enakan nyuruh-nyuruh orang fotoin gue yang lagi ngobrol sama Cia, kalo gue sama dia pas barengan berarti kita pas terbang bareng." Dia membuang nafas, dan aku udah menangis jelas, hal sepele yang bikin aku marah besar saat itu karena penolakannya.

"Pulang, orang tuamu hanya ingin kamu aman, kamu tumbuh ngga aneh-aneh, orang tuamu itu sayang sama kamu, cinta sama kamu, jangan bodoh. terserah abis itu kamu mau ngapain tapi pulang, aku terbang jam tujuh besok pagi, namamu akan aku masukin, terserah kamu ikut apa engga."

Dia ngga memberiku kesempatan berbicara. Aku mengusap tangisku yang luar biasa deras, hancur sudah semua yang kubangun. Sia-sia. Dia memelukku, aku ngga bisa menahan tangisku. Dia kembali menjadi kakak yang selalu membuat aku jatuh cinta, sahabat yang selalu jagain, sahabat yang menegur kala aku salah.

"Jangan bodoh lagi, pergilah meminta ijin Ben, aku tunggu besok," dia mengusap pelan rambutku sedang aku hanya mengangguk, tiap hari tiap doa yang kusebut namamu hingga seseorang datang menggantikanmu, kini kamu datang bilang ini hanya kesalahpahaman belaka, takdir dan Tuhan seakan menertawakanku.

Aku menangis di taksi. Bahkan Jo menelponkan taksi untukku, mengantarku ke lobby hotel, menunggui sampai taksi datang, membukakan pintu taksi untukku dan bilang kemana tujuanku ke sopir taksi. Menangis lagi bercerita keseluruhan kisahku pada Tara. Dia bilang dia engga memberitahu Jo, Jo emang FO nya dia tadi, setelah dari CGK ke SOC, betapa takdir mempermainkanku.

Ben ngga bisa kuhubungi sepanjang malam. Saat ke apartemen dia juga ngga ada. Saat  menjelang subuh aku mencari dia juga ngga ada di kantor maupun apartemen.

Benaya
04.41
Aku harap kamu tau akan kondisi sulitku, aku pulang hari ini Ben, sehat selalu yaa, God Bless

Sampe aku boarding ngga ada balasan walau pesan itu terkirim. Aku mematikan ponselku. Tara memutuskan untuk pulang saat tau kondisiku sedang semruwet.

Mama yang masih belum keluar dari rumah sakit. Jo nganterin nungguin. Mama masih di ICU. Aku diam saja. Aku tau aku anak kurang ajar. Jo akhirnya yang menyeretku ke depan. Menemui penghakimanku.

"Papa tunggu di rumah, setelah jam makan siang."

Jo membawaku makan, dia ngga melepaskan aku, dia mendampingiku kemanapun. Aku hanya minum saja sedari tadi, diam saja, aku menjadi sosok yang bisu saat di sini, Jo hanya memandangku prihatin.

"Makan," katanya menyodorkan makananku yang dia pesankan. Aku menggeleng, mataku ngga mampu menangis, air mataku udah habis rasanya.

Di rumah kufikir hanya papa, ternyata mama papanya Jo ada disana. Aku ingin pingsan saja rasanya. Sebuah tangan menggenggam tanganku, aku benci jadi lemah di depannya.

"Jadi bagaimana kelanjutan hubungan kalian? Apa foto yang dikirim dari Lombok itu bener? Apa emang kalian udah ngga mau sama-sama?" Papa bertanya bertubi-tubi.

"Maaf..." Ucap kami bersamaan. Ada tangan yang meremas kuat tanganku.

"Maaf oom, kami memang kurang dewasa dalam menyelesaikan masalah. Bertahun-tahun dan akhirnya selesai seperti ini."

"Sekarang terserah kalian mau apa, terserah kalian mau berhubungan dengan siapa, kami ngga peduli lagi." Satu tetes air mata turun akhirnya mendengar ucapan Papanya.

"Aku ngga punya hubungan dengan Patricia Oom, aku hanya temenan semenjak dulu sama Cia, Ketzia satu-satunya manusia yang kucintai, maka saat perjodohan ini ada aku mengucap syukur, tapi kurang tegasku, ngga tegaanku sama Key berbuah seperti ini, aku secara pribadi juga Key minta maaf... Semua keputusan aku serahkan ke Key..." Air mataku ngga terbendung, deras mengalir airnya. Kurasakan cengkeraman di tanganku makin kencang.

"Maaf Pa, oom, juga Tante..."

"Papa kasih kamu seminggu untuk memutuskan, bersama dia dan pergi dari keluarga papa atau tetap sama Jo dan jadi bagian keluarga papa."

Tangisku pecah, dari sesenggukan menjadi bener-bener pecah. Dadaku rasanya nyeri sangat. Aku ngga mampu menjawab semua yang dilontarkan papa.

"Ketzia akan jawab secepatnya oom, biarkan dia istirahat."

Aku tidur telungkup sambil menangis. Kata-kata Jo berputar seperti kaset rusak dikepalaku, semua tentang cara papa membesarkanku, dan tentang segala hal di keluargaku yang ngga kumengerti. Saat aku menghidupkan ponsel deringan pertama yang kudengar dari Ben, aku menangis.

"Aku khawatir sama kamu seharian non..."

"Aku kembali ke asalku Ben, aku ngga tau harus bagaimana...."

"Kalopun kamu tinggalin aku, aku udah siap non, aku ngga akan bikin ruwet kepalamu, kamu inget tempat bersandar paling nikmat dimana kan? Bukan aku, bukan Jo, bukan papa kamu, atau pak Har, atau anak-anak FA, Bapamu nungguin kamu, doa, puasa, aku udah ikhlas..."

"Aku dosa Ben sama mereka, aku dosa jadi anak..." kataku tersedu sedan.

"Maka perbaikilah, jadilah anak yang baik..."

"Aku maunya sama kamu..."

"Doa Yang doa... Aku cuman bisa berharap pun kamu, tapi kamu ngga bisa nentuin, Tuhan tau dengan siapa kamu berjodoh, mereka wakil Tuhan bagimu Yang, itu kan yang selalu kukatakan?" Jangan tanya seberapa sering dia mengingatkan kalo mereka wakil Tuhan di dunia.

Selepas Jo telpon rumah yang berdering. Seorang pembantu rumah mengetuk pelan kamarku, memberitahu kalo Jo ada di sambungan telpon.

"Haiii..." Sapaku sambil terus menangis.

"Maafin gue Key..."

"Gue yang salah kok..." Hening, helaan nafas kudengar diseberang.

"Jangan terlalu difikirin, hatimu tau jawabannya... Aku udah bilang Papa seminggu lagi malem aja ketemuannya, aku terbang ke luar terus seminggu ini, kamu baik-baik yaa, doa jangan lupa, makan."

"Makasihh, you too." Sesak ini menghampiri dadaku. Andai dulu aku sabar sedikit mungkin aku sudah jadi pilot seperti Jo, mungkin udah nikah sama dia bahkan punya baby. Sayang itu cuma andai. Dan kini makin kurasakan hatiku tertinggal di Ben, orang yang membuatku jatuh terlalu dalam di cintaNya.

"Misscall nomerku ya."

"Iya, gue tutup yaa." Suaraku bergetar hebat. Aku menangis lagi dan lagi.

Bizarre Love TriangleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang