PROLOG

86.2K 3.9K 118
                                    

"Ini seriusan?" tanyaku dengan wajah cemberut dan bibir bergetar. Sementara objek di depan mataku malah terkekeh.

"Iya, Sayang. Aku harus melanjutkan study ke luar negeri."

"Terus aku ditinggal?" tanyaku, manyun.

Gibran mengangguk, "nggak lama, kamu selesaikan dulu sekolah kamu di sini, setelah itu kuliah yang benar. Saat aku udah jadi orang, aku pasti balik ke sini dan melamar kamu sama Papa Mama kamu yang protektif itu."

Hatiku berbunga, aku masih duduk di kelas dua sekolah menengah atas, tapi mendengar itu meluncur dari mulut pacarku membuat dadaku berdesir. Mirip sekali dengan novel yang kubaca.

Gibran maju selangkah, memerangkap tubuhku dalam pelukkannya. "Kamu hati-hati di sini, sekolah yang bener, kejar semua impian kamu, doakan aku juga," ucapnya, di atas kepalaku.

"Kamu juga, jaga hati, jaga kepercayaanku." Sudah hanya itu. Jika urusan pendidikan, aku tahu Gibran lebih dari sekedar mampu hingga dengan mudahnya dia mendapatkan beasiswa di luar negeri. Untuk hati, aku hanya mampu berharap. Satu tetes air mataku melesak turun, Gibran yang tahu memilih diam dan mengeratkan pelukannya, "minimal tiga kali sehari harus kirim kabar, skype kalau perlu setiap hari."

Gibran tergelak, "siap. Aku juga pasti kangen banget sama kamu."

Sebuah tangan menarikku sedikit kasar, "yaelah, masih mau drama di sini? Itu dari dalam udah meraung-raung minta lo cepetan masuk. Malah ngedrama dulu di sini." Shakila berbicara dengan tangan bersidekap di dada.

Gibran menepuk pundak Kila, "gue titip pacar tersayang sama lo, Kil."

"Ogah. Emang gue tempat penitipan pacar."

Aku tak kuasa tertawa, dasar Kila dan mulut cabenya.

"Aku masuk dulu, kamu hati-hati. I love you."

Gibran berderap menghilang, aku berbalik meninggalkan ruang tunggu keberangkatan. Lima langkah kemudian, kulihat seorang lelaki dengan pakaian kerja lengkap sedang celingukan seperti sedang mencari sesuatu.

Kuambil sesuatu di sisi lelaki itu, "ini kacamatanya, Mas," ucapku menyerahkan.

"Terima kasih," ujarnya, menerima kacamata dan memakainya.

"Sama-sama," ucapku berlalu.

"Pak Panji tak apa-apa?" Suara seorang perempuan di belakang sana.

Cinta Merah JambuWhere stories live. Discover now