Satu

122K 6K 412
                                    

"Nat, 45 derajat samping kanan, gue perhatiin dari tadi ada cowok ngelirik ke arah sini terus," ucap Rizka sembari memberikan gelas minuman kepadaku.

Aku hanya berdeham sambil mengulum senyum tak mau repot-repot menoleh. Buat apa? Aku sudah terbiasa mendapat tatapan memuja dari para lelaki itu. Siapa tak kenal denganku?

Siapa? Ayo tunjuk gigi yang merasa belum kenal.

Baiklah, jika di antara kalian ternyata ada yang belum mengenalku. Marilah kita mulai dengan perkenalan karena kata orang tak kenal maka tak sayang. Namaku Natalia Laura. Panggil Nata, boleh. Panggil Talia, not bad. Panggil Kendall Jenner monggo. Panggil Miranda Kerr, kuterima dengan senang hati. Panggil Lim Yoona, kuterima dengan lapang dada. Asal jangan panggil aku, Mawar.

"Nat, ayo kita salaman dulu sama pengantinnya. Sebelum antriannya makin panjang. Makin lama nanti, kaki gue udah pegel berdiri terus dari tadi."

Aku mengangguk, kemudian meletakan gelas minumanku di meja yang kami lewati. Berjalan menuju panggung tempat dipajangnya raja dan ratu sehari di pesta pernikahan mereka. Sesekali kutemukan teman semasa kuliah dulu. Ada yang masih sendiri, ada yang datang bergrombolan, ada yang sudah berpasangan, bahkan ada yang sudah memiliki anak.

"Selamat ya, Dinda sayangkuuuh. Langgeng terus sampai kakek nenek. Sampai maut memisahkan." Aku mengulurkan tangan kanan dan maju, merengkuh tubuh Dinda yang hari ini luar biasa memesona. Gaun sederhana, tapi tetap terlihat memukau hingga memancarkan aura yang berbeda.

"Akhirnya ya, Van, lo dulu yang pecah telur. Playboy cap curut Jonggol bisa juga ngomong ijab dalam sekali napas. Jagain ni temen gue, awas kalau lo bikin mewek lagi," ucapku sambil memukul pelan lengan Rivan.

"Pasti. Bakal gue jagain segenap jiwa." Rivan membalas tegas seraya tersenyum ke arahku dan Rizka. "Kalian sendiri kapan?"

"Kita, sih, gampang tinggal tunggu hilal," jawab Rizka sambil menempelkan pipinya pada pipi Dinda. Rizka pun mengucapkan salam sama seperti yang kulakukan.

Aku menatap Dinda, temanku semasa kuliah yang hari ini melepas masa lajangnya di usia 23 tahun. Gila ya, sayang banget usia muda sudah harus rempong ngurusin kemeja, sarapan, sepatu, dan keperluan suaminya setiap pagi. Belum kalau nanti punya anak. Duh!

Kalau aku, sampai kucing beranak anjing pun aku tetap tak mau menikah dibawah umur 27 tahun. Masih belum puas menikmati hidup, masih pengin jalan sana jalan sini, masih pengin nyoba ini itu, dan masih banyak yang lainnya. Ya, memang kelihatannya tak berguna sama sekali, tapi kayaknya sayang aja.

Namun, memperhatikan senyum dari Dinda dan Rivan yang terus tercetak jelas di wajah mereka, aura bahagia yang menguar ke seluruh penjuru ruangan ini membuat sedikit rasa iri menyusup dalam diriku.

Aku menggelengkan kepala ringan. Mengenyahkan segala bentuk rasa iri dengki yang bersemanyam dalam hatiku. Menggantinya dengan energi positif yang lebih bermanfaat.

"Selfie, yuk!" ajak Rizka, sudah siap dengan segala perlengkapan berfotonya. Namanya juga wanita, ke mana pun belum lengkap tanpa dokumentasi. Lalu, disebarkan lewat sosial media. Kebiasaan yang sepertinya sudah mendarah daging di setiap jiwa manusia yang memiliki dua buah dada.

Aku berdiri di samping Dinda, sementara Rizka di sebelah Rivan sambil memegang ponselnya. Aku memasang senyum semanis mungkin. Setelah mendapat tiga foto dengan pose berbeda, kami berpamitan dengan kedua mempelai.

"Cowok yang tadi masih aja nyuri lirik sama elu, Nat. Coba lo tengok, Nat. Kali aja lo kenal, atau teman lama," adu Rizka padaku, ketika kami hendak keluar dari ballroom hotel tempat resepsi pernikahan berlangsung.

Cinta Merah JambuWhere stories live. Discover now