Sepuluh

49K 4.6K 172
                                    

"Sudah siap menjalankan tantangan pada hari kedua?" tanya Panji, sama seperti kemarin.

Kuanggukan kepala dua kali, "Siap. Demi belanja. Semua akan kulakukan, Om." Siapa yang bakal nolak masak rawon berhadiah belanja sepuasnya. Wanita di luar sana sampai rela jual diri demi belanja puas, aku hanya tinggal masak rawon. Rejeki anak sholehah. Hehe

Panji tergelak lucu membuat pergerakan pada kacamata yang dikenakannya, "Good luck, ini kesempatan terakhir. Harus berhasil."

Pagi ini Panji mengenakan kemeja putih dan celana hitam. Ntah kenapa, lelaki dan kaos putih atau kemeja putih itu kombinasi yang mampu membuat kaki perempuan meleleh. Seperti ada aura yang berbeda. Kami kemudian mengobrolkan hal-hal remeh seperti; akan melakukan kegiatan hari ini, ada acara apa di hotel, pulang jam berapa. Obrolan yang sebenarnya masih aneh untuk seorang suami dan istri. Selesai dengan sarapan, Panji selalu menyempatkan diri mengusap keningku dan mencium keningku, acap kali berangkat kerja.

Aku sudah menjalankan tugasku sebagai istri yang baik, kan, pagi ini? walau semalaman aku tak bisa menemui mimpi karena memikirkan Gibran. Menatap mobil Panji yang menghilang dalam pandanganku, sesekali perasaan bersalah memukul hatiku. Kutundukan pandanganku, menatap uang 200 ribu yang sudah kucel karena kuremas sebal. Hih!

---

Pagi ini aku nekat berbelanja ke pasar terdekat, bermodalkan catatan yang kuminta dari si Mbak dan uang 200 ribu yang kuterima pagi tadi ditambah 150 ribu yang tersisa hari kemarin. Aku menstarter motor, sebenarnya sudah lama sekali aku tak mengendari kendaraan bermesin roda dua ini. Agak kagok memang, tapi aku tetap saja berangkat. Semua demi bisa berbelanja, kan?

Hanya butuh waktu sepuluh menit perjalanan untuk tiba di pasar. Yang pertama kutangkap oleh indraku adalah suara-suara dan bau amis yang cukup menyengat. Aku tetap berkeliling pasar, sesekali melihat contekan kertas takut ada yang terlewat. 30 menit kemudian, kantong belanjaan yang kubawa tadi sudah penuh oleh bahan-bahan yang akan kugunakan nanti. Sesekali kembali meneliti takut ada bahan yang tertinggal. Aku malas jika harus kembali ke pasar.

Setelah dirasa cukup, aku bergegas kembali ke rumah. Uang pemberian Panji tersisa 60 ribu, padahal selain bahan-bahan yang tercatat, aku juga membeli beberapa camilan yang dulu sering kunikmati saat masih duduk di bangku sekolah dasar. Aku yang sedari dulu selalu meminta pada Papa tanpa memikirkan apakah makanan yang kubeli mahal atau tidak, karena Papa tak pernah mengeluh meski aku akan meminta uang kembali saat hendak makan. Dan hari ini, dari uang pemberian Panji—yang menurutku sangat kurang ternyata masih bersisa membuat rasa bahagia bersarang di hatiku.

Rasa lega menyerbu saat Scoopy hitam yang kukendarai memasuki perkarangan rumah, rasa sejuk langsung menyelimuti tubuhku saat berjalan ke ruangan tengah. Namun, sekarang bukannya saatnya bermalas-malasan. Badanku sudah lelah, jujur saja. Kalau aku duduk sebentar saja, pasti akan keterusan. Dengan celemek cantik yang melekat di tubuhku yang sudah terasa remuk, aku siap menaklukan si rawon nakal.

Kali ini aku memilih menggunakan media Youtube yang lemah dan gemulai sebagai pemanduku. Kuikuti satu persatu instruksi yang diarahkan dalam layar terpaku, mengulang jika ada yang terlewat. Begitu seterusnya. Aku wajib, harus, kudu, mesti berhasil karena ini kesempatan terakhirku. Lagi-lagi demi berbelanja akhir tahun, kan?

Sudah hampir dua jam aku berkutat dengan rawon. Akhirnya selesai, tetapi saat kucicipi masakanku. Kulepehkan kembali, rasanya jomplang. Kalian tahu tidak istilah tersebut?

Aku sudah mengikuti aturan yang ditunjukan si nona koki yang kulihat di Youtube. Takaran, tata cara, dan langkah-langkahnya semua sama. Namun, kenapa rawon ini tetap terasa jomplang? Terasa kurang sesuatu tapi apa?

Kulirik jam di ruang tengah, sudah pukul sepuluh pagi dan aku masih berkutat dengan keringat demi membuatkan Panji rawon. Demi bisa belanja puas sebenarnya. Aku mendesah, kutambah penyedap rasa pada kuah rawon tersebut. Namun, rasanya tetap aneh menurutku. Tak sama dengan yang kumakan dahulu bersama Panji.

Cinta Merah JambuWhere stories live. Discover now