Lima Belas

53.9K 4.8K 312
                                    

Hari kedua.

Kubuka kelopak mataku perlahan. Mencari sedikit cahaya guna menerangi pandanganku. Namun, cahaya yang tertuju pada mataku, terhalang sesuatu. Ketika mataku terbuka sempurna dan menyadari sesuatu, aku merangsek menjauh.

Panji tidur terlentang--seperi biasa, yang membedakan adalah; tangan kirinya kujadikan bantalan. Sementara aku sendiri, tidur miring menghadap Panji dengan kaki kiriku terapit oleh kedua kaki Panji.

Sudah mendapatkan gambaran?

Kutarik kakiku secara perlahan supaya tak membangunkan Panji. Namun gagal, saat tarikan pertama Panji sudah memiringkan tubuhnya. Menarikku kembali dalam dekapannya.

"Selamat pagi," sapanya masih dengan mata terpejam.

Aku mencoba mendorong dada Panji, "eum... pagi juga, Mas," ucapku.

"Kalau di novel gitu, pasangan tiap bangun tidur melakukan apa?" tanya Panji, matanya terbuka.

Eanjiiir... Panji sekarang jago bener nyari celah buat ngemodusnya. Kalau begini aku yang kalah.

"Biasanya si cowok mijetin ceweknya, Mas," jawabku. Menahan senyum yang timbul karena wajah bingung Panji.

"Kok beda sama yang dikatakan Icha." Panji menaikkan tangan kanannya, meraih kacamata yang berada di nakas.

"Emang Icha bilang apa, Mas?" tanyaku dengan alis terangkat satu sembari tersenyum.

"Itu... cerita begitu rata-rata pengalaman penulis atau sekedar khayalan saja?" tanya Panji, berhasil mengalihkan pembicaraan. Tangannya beberapa kali mengusap belakang kepalaku lembut.

Aku bergumam sejenak sembari berfikir, "ada beberapa yang pengalaman tapi lebih sering sebatas khayalan saja," jawabku, "tulisan mereka rata-rata melambungkan khayalan pembaca, membuat kita melayang dan ikut baper. Begitu istilah anak muda sekarang," lanjutku.

"Kaya kamu ya, Nat?"

Kuanggukan kepala dua kali, menyetujui, "untung ya, Mas, Gibran ganteng jadi khayalanku nggak buyar begitu saja," terangku.

"Berarti Mas jauh dari khayalan kamu, ya?" tanya Panji tetap tersenyum.

Eh? Aku tak menyadari jawaban yang terlontar dari mulutku barusan. Seperti di bawah sadarku, aku tak berniat mengacaukan pagi Panji.

Dekapan Panji melonggar, "tidur dengan tangan sebagai bantalan seperti ini ternyata bikin kebas karena semalaman nggak bisa ganti posisi," ucapnya dikelilingi tawa, "ternyata mau romantis saja sesusah ini ya, Nat."

Panji bahkan masih mencairkan suasana pagi ini sementara aku yang membuatnya menjadi kacau.

Aku duduk di atas ranjang, Panji pun melakukan hal yang sama. Panji mereganggang ototnya, aku hendak beranjak, "kalau gitu aku ke kamar mandi dulu, Mas," pamitku.

Belum sempat aku berpindah, Panji mencekal pergelangan tanganku, "kata Icha, pasangan kalau bangun tidur melakukan ini," ujar Panji, menjeda. Lelaki itu mendekatkan wajahnya. Menempelkan bibir kami singkat, "morning kiss."

Aku terlonjak, berlari kecil menuju kamar mandi. Ada yang meluap-luap di perutku, entah karena panggilan alam atau karena perlakuan Panji barusan.

"Ibu tadi telepon, minta kita ke sana karena ada arisan," ucap Panji sebelum pintu kamar mandi tertutup.

---

"Arisan keluarga ya, Mas?" tanyaku saat Panji menarik rem tangan. Kami sudah tiba di rumah mertuaku, beberapa mobil sudah terparkir rapi di sini. CR-V hitam Panji pun hanya terparkir di depan gerbang.

Cinta Merah JambuWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu