Dua Belas

47.8K 4.6K 366
                                    

Kila : woy gaes pada ngelayat kagaaa?

Me : Inalillah,

Dinda : siapa yang meninggal?

Rivan : temen kita?

Kila : Boy mninggal dunia ketabrak truk

Rivan : Anzeeeeeng,

Rizka : Njir Kil, otak lu tinggal setengah liter gituuu...

Me : Gue jg turut berduka cita buat suami lo ntr Kil, dapet bini spesies model eluuuu

Kila : Kuampreeeet, yang hbs dpt krtu kredit sama atm maaah Bebaaaaas

Tiara : Sayang banget belum tau hrs kirim bunga bela sungkawa k siapa. Kila kan masih zombelo...

Kila : Hikz... siapa yang mau ngehalalin eike... plis tolong jangan terlalu lama datangnya. Hayate lelah menanti.

Zhio : ke BPOM coba...

Kila : ngapain?

Zhio : Minta di cap halal.

Kila : Bangsaaaat.... eeeeeee

Me : HAHAHA main dongs ke rumah gue... aku kesepian,

Rizka : Nata kesepian kalau jauh dari mas Panji ya.

Mas Panji? Memang harus memanggilnya demikian? Kurebahkan kepalaku di atas meja bar dekat dapur sembari memutar kunci mobil pemberian Panji tadi pagi. Harusnya sekarang aku sudah jalan-jalan cantik sambil berbelanja sepuas hati, tapi entah bagaimana keinginan itu seketika menguap tanpa sisa. Yang kulakukan sedari tadi hanya menghidupkan televisi, mencari acara yang mungkin menarik minat, kemudian mematikannya kembali. Aku jenuh.

Kulirik jam di dinding dapur, baru pukul sepuluh pagi. Aku tak mungkin kembali bergelung di ranjang kamar, karena kata orang: tidur pagi itu tak baik untuk kesehatan. Mau merecoki teman-temanku mereka kebanyakan kerja. Salah memang aku si pengangguran ini.

Ping!

Gibran : Lg apa, Nat?

Me : Jenuh.

Gibran : Kata shila lg byk sale di Abcd.. kamu nggak belanja?

Tak kubalas pesan Gibran barusan. Aku tahu pertanyaannya memang hanya basa-basi tapi jujur aku senang karena Gibran masih ingat dengan hobiku berbelanja. Memang akhir-akhir ini Gibran sering sekali menghubungiku, dan aku kadang membalasnya tanpa sepengetahuan Panji, toh suamiku itu juga tak bertanya apapun, jadi untuk apa aku menjelaskan juga?

Sedikit hangat memang mengetahui Gibran lebih sering menghubungi, mengatakan rindu, sekedar bertanya aku sedang apa, dan lainnya. Hanya seperti itu tapi tingkat kenyamaan yang sudah kutimbun kadang muncul kembali.

Berbeda jika harus menghadapi Panji. Dia kaku, mudah canggung, berkata seperlunya, dan itu membuatku juga lebih banyak diam jika bersebelahan dengannya. Harusnya suami istri lebih dari sekedar hangat bukan?

Padahal tiap pagi selalu cium kening dan mengusap puncak kepalaku, tapi tetap dingin.

Mau sampai kapan?

---

"Om, sudah beli kado buat anaknya Mbak Rahma?" tanyaku pada Panji yang duduk di belakang kemudi. Duduk di sampingku.

Sore ini kami akan mengunjungi kediaman Mbak Rahma, yang katanya ada tasyakuran anaknya yang juara olimpiade. Panji memang sengaja pulang lebih awal, dan aku yang memang tak ada pekerjaan sama sekali juga pasti diajak ke sana.

Cinta Merah JambuWhere stories live. Discover now