Karna Aku Peduli

3.5K 473 22
                                    


Jam sudah menunjukkan pukul 07.10 pagi. Namun, Draco belum juga muncul. Seperti biasa, hanya tasnya yang ada. Aku tidak tahu apa yang dia lakukan sepagian ini. Sudah sering aku mencarinya keliling sekolah. Tapi aku tidak juga menemukannya. Entah dia bersembunyi dimana. Jangan tanya sudah berapa kali aku bertanya padanya. Karna itu sudah tak terhitung lagi. Dan tahu jawabannya apa? Dia hanya tersenyum lalu menepuk-nepuk kepalaku.

Ingin rasanya aku berteriak di depan wajahnya. Aku ingin bilang, dia terlalu sulit untuk kutebak. Aku dekat dengannya, tapi terasa jauh. Terasa.. asing. Semuanya tentangnya itu terlalu samar. Terlalu abu-abu.

Pikiranku teralih ketika Pak Warent memasuki kelas. Kutatap sejenak kursi Draco yang kosong. Dimana dia sekarang? Sedang apa dia?

***

"Cie ngambek."

Aku diam. Sekarang sudah jam istirahat. Tapi aku tidak ada niat sedikitpun untuk beranjak dari kursiku. Di sebelahku sudah ada Draco. Dia, dengan sikap songongnya masuk begitu saja saat mata pelajaran Pak Warent sudah berjalan satu jam lamanya.

"Jawab dulu, tadi kamu kemana."

"Nggak kemana-mana."

Aku menoleh, "Kamu itu kenapa sih? Selalu ngilang kaya gitu? Setiap pagi pasti nggak tahu kemana! Terus tiba-tiba dateng gitu aja."

Dia malah terkekeh. Membuat emosiku makin meluap. Dia tidak tahu apa, kalau aku sedang tidak bercanda. Ini benar-benar tidak lucu.

"Mau gua beliin roti nggak? Nanti kelaperan lagi." Katanya setelah berhenti tertawa. Dia malah mengganti topik pembicaraan begitu saja.

"Draco, aku serius. Kamu kalo ada masalah, bilang sama aku. Jangan diem dan malah kabur kaya gitu. Aku 'kan—"

"Siapa yang kabur?"

Seketika aku langsung diam. Nada bicara Draco tiba-tiba berubah. Ia sekarang seperti menghindari tatapanku. Matanya menatap lurus-lurus ke depan.

"Jangan sok tahu kalo nggak tahu apa-apa."

Aku bungkam. Mulutku tertutup rapat. Rasanya seperti ada yang mencelos di dadaku. Apalagi saat Draco berdiri dan berjalan meninggalkan aku.

Aku menatap kepergiannya dengan gamang. Dia seperti teka-teki yang sangat sulit untuk kutebak. Dia juga seperti puzzle. Dan entah sampai kapan aku bisa menyusunnya menjadi bagian yang utuh.

***

"Kamu marah?"

Dia berhenti. Dia menggelengkan kepalanya tanpa melihat ke arahku.

"Bisa kita ngomong sebentar?"

Dia mengangguk. Dan kita pun keluar kelas bersama lalu menuju lantai tiga. Dimana tidak banyak orang yang datang kesana.

Sesampainya disana, aku menyandarkan tubuhku di pembatas lantai tiga. Menatap sekumpulan anak yang tergesa keluar dari gerbang sekolah dari atas. Di sampingku, Draco juga melihat hal yang sama. Tapi dia tetap diam.

"Maaf.." Kataku memulai percakapan. Dia menolehkan kepalanya, lalu menepuk kepalaku sekali.

"Lo nggak salah."

Kutarik napas sejenak, "Jadi.. belum mau cerita?"

Dia tersenyum samar, "Nanti ya."

"Kapan?"

"Secepatnya."

Aku semakin melipat tanganku di depan dada. Menekan tubuhku pada dinding pembatas karna angin diatas sini lumayan dingin.

"Aku cuma mau kenal kamu aja kok."

"Kan emang udah kenal."

Aku menggeleng, "Belum. Aku belum kenal kamu seutuhnya. Kamu.. kamu masih asing."

Aku tertunduk. Menahan segala gejolak yang meluap dalam diriku. "Maaf karna kesannya aku terlalu mau tahu tentang hidup kamu. Tapi itu karna aku.. karna aku.. peduli."

Hening. Kutolehkan kepalaku. Dan saat itu aku bisa lihat mata keabuannya sedang menatapku lekat-lekat. Aku seperti tenggelam didalamnya. Begitu jernih tapi penuh dengan rahasia.

Tiba-tiba dia memegang pundakku lalu membawaku kedalam pelukannya. Aku tidak bicara apa-apa. Hanya tanganku yang melingkar di pinggangnya dan daguku yang bersandar pada bahunya.

Aku selalu suka parfum Draco. Selalu menenangkan. Dan dekapannya yang tidak pernah berubah. Selalu hangat.

"Maafin gua. Makasih karna udah peduli sama gua. Tapi sekarang, yang gua butuh adalah kepercayaan lo. Bisa 'kan?"

Aku diam sejenak. Lalu menganggukkan kepalaku. Aku tidak juga melepas pelukanku. Rasanya aku ingin berlama-lama dekat Draco. Mungkin aku memang belum terlalu mengenalnya. Tapi yang aku tahu, aku sayang dia. Dan itu pun sudah cukup untuk membangun sebuah hubungan.

"Nanti, gua sendiri yang akan kasih tahu semuanya. Dan saat itu, gua butuh lo buat peluk gua."

Aku semakin merekatkan pelukanku. Biar saja terasa sesak. Agar dia tahu kalau aku tidak akan kemana-mana dan selalu ada untuknya.

Setelah cukup lama berpelukan, akhirnya Draco melepas pelukan itu lebih dulu. Tidak rela sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi. Daripada kami kepergok guru dan di sangka melakukan hal tidak senonoh.

Dia mengangkat daguku dan melihat pelupuk mataku yang agak basah. Lalu dia tertawa seraya mengusap kantung mataku.

"Cengeng. Gitu doang masa nangis."

Kupukul bahunya dan memasang wajah cemberut. Dia memang tidak tahu dimana harus bercanda dan serius.

"Bukan nangis. Cuma kelilipan." Dengusku sebal.

"Cie yang nangis."

Aku mendengus, "Apasih cia cie cia cie terus!"

"Cie marah."

"Tau ah!"

***

Maaf ya, udah update nya lama, eh sekalinya update gaje dan pendek bgt 😝 *peace

CHAIRMATE [DRAMIONE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang