Beneran nih?

3.8K 537 231
                                    


"Tentang kita?" Tanyaku, bingung. Perkataannya benar-benar ambigu. Membuat tingkat kebaperan pendengar meningkat.

Disaat aku sedang mengontrol detak jantungku yang menggila, dia malah bersandar dengan santainya. Kakinya Ia silangkan dan tangannya mencomot toples kue kering di atas meja.

"Apa sih maksudnya?" Tanyaku makin penasaran karna Si pirang tidak melanjutkan.

Dia menoleh padaku dan menyeringai. Membuat bulu kudukku langsung meremang, "Penasaran ya..?"

"Ih! Serius, kenapa?!" Gerutuku.

Dia malah tertawa. Ditaruhnya toples kue itu, dan sepertinya Ia mulai mencoba menahan gelak tawanya.

"Oke, gua serius." Ia memiringkan tubuhnya, sehingga kami sekarang hampir berhadapan. "Bilang sama gua, kenapa lo ngejauhin gua?"

Kuhembuskan napas, bosan. Lagi-lagi pertanyaan itu.

"Nggak kenapa-napa."

"Ck, nggak mungkin nggak kenapa-napa."

Kupicingkan mataku, "Terus menurut kamu kenapa?"

"Lo cemburu lagi ya sama gua?"

Skak!

To!

The!

Mat!

Skakmat!

Dia menyeringai, "Tuh, kan bener." Ia kembali menyandarkan punggungnya dengan santai.

"Ih! Siapa bilang? Sotoy banget sih?!"

"Yaelah, lu tuh nggak bisa boong sama gua."

Aku mendengus keras-keras. Sungguh, aku tidak tahu harus bilang apa lagi. Lidahku terasa kelu. Dan aku menutup kegugupanku dengan berpura-pura marah.

"Sama siapa sih cemburunya?" Tanyanya dengan nada seperti seorang ayah bertanya pada anaknya.

Aku diam.

"Pansy?"

"Bukan."

Ahhhh! Mulut sialaaan!!

"Tuh, kan beneran cemburu berarti. Tapi kalo bukan sama pansy, siapa lagi?"

Kulirik dia yang seperti sedang berpikir keras. Ia mengetuk-ngetukkan jarinya pada pelipis dan mulutnya komat-kamit entah membaca mantra apa. Membuat diriku tak kuat menahan tawa.

"Gila!" Tawaku pun pecah.

Dia hanya tersenyum geli, "Jujur sama gua, cemburu sama siapa?"

Aku menunduk. Menyembunyikan rona merah yang menghiasi pipiku.

"Waktu itu, pas aku mau jalan bareng Ron. Aku liat kamu chating sama cewek. Pake aku-kamu lagi."

Dia langsung tertawa kencang-kencang. Seakan perkataanku itu lelucon paling lucu di dunia.

"Sudah gua duga. Lu baca chat-nya. Dasar stalker." Katanya masih tertawa.

Kupukul bahunya lumayan kencang, sampai dia berhenti tertawa. Dan sekarang dia sedang meringis sambil memegangi bahunya.

"Sakit, gila!"

Dan sekarang gantian aku yang tertawa.

Setelah puas tertawa, aku meliriknya yang masih mengusap-usap bahunya. Aku jadi tidak enak. Sepertinya aku terlalu kencang memukulnya. Padahal 'kan dia sedang babak belur.

"Eh, maap ya. Aku ambil kotak obat dulu."

Aku pun bangkit dari duduk, dan segera berlari menuju dapur. Aku kembali dengan sekotak obat-obatan ditanganku.

"Berantem sama siapa sih, emang? Suka banget berantem. Nggak sayang nyawa apa?" Gerutuku sambil mengobati luka-luka di wajahnya.

"Biasa aja sih. Soalnya gua lebih sayang lo."

Hening. Krik. Krik. Haha, lucu banget.

"Ngaco!"

"Gua serius."

Sekarang aku benar-benar menghentikan kegiatanku mengobati lukanya. Aku seperti lupa caranya bernapas. Dan entah kenapa oksigen di rumahku langsung menipis.

"Apaan sih!" Pipiku terasa terbakar.

Tanpa kuduga, dia mengangkat daguku yang tadi menunduk. Kini aku bisa menatap matanya yang biru keabuan.

"Jadian yuk?"

Tubuhku melemas. Jantungku berdebar kencang. Aku rasanya seperti terbang melayang.

"Jangan bercan-"

"Gua nggak bercanda."

"Terus cewek yang chatingan sama kamu siapa?"

Dia malah terkekeh geli, "Namanya Tifanny. Dia udah kaya adek gua kali. Dulu dia itu tetangga gua. Tapi dia pindah ke Australia. Nah, waktu itu dia minta gua jemput soalnya katanya dia lagi patah hati. Dia mau liburan ke rumah neneknya."

Aku menunduk semakin dalam. Rasanya seperti orang bodoh. Aku sudah menangis berhari-hari, dan ternyata itu semua hanya salah paham?

Jadi air mataku terbuang sia-sia? Terus adegan aku menangis sambil menatap derasnya hujan yang sudah seperti di film-film itu tidak berarti apa--apa?

"Jadi sekarang udah jelas 'kan? Makanya 'kan udah gua bilang, jangan ambil kesimpulan sebelum lo tahu pasti apa yang sebenernya. Fitnah itu namanya."

"Ck, iya iya maaf. Bawel banget sih." Dengusku sebal, karna sepertinya aku selalu salah terhadapnya.

"Jadi gimana?"

Aku diam. Dadaku kembali berdebar-debar. Rasanya kesenanganku ini sudah diatas batas normal. Mungkin kalau aku bisa terbang, aku langsung terbang ke langit ketujuh saking senangnya.

"Kalo cewek diem, berarti iya."

"Eh?"

"Yaudah, gua pulang dulu. Nggak enak kalo orangtua lo pulang, terus liat gua babak belur kaya gini."

Dia pun berdiri, dan memakai jaket yang entah kapan sudah Ia lepas dari tadi.

"Besok berangkat bareng gua."

Aku masih diam. Posisi kami saling berhadapan. Tapi aku tidak tahu harus bilang apa.

Jadi.. aku dan dia udah pacaran?

Beneran nih?

Authornya nggak lagi ngelindur 'kan?

(A/N: apaandah-_-)

"Eh, kok diem sih?"

Aku terkejut. Sekejab pikiran-pikiran absurdku melayang pergi entah kemana.

"Hm? Nggak kok. Cuma bingung aja mau ngomong apa."

Dia tersenyum. Dan baru kali ini aku melihatnya tersenyum seperti itu. Rasanya lututku melemas seperti jelly.

"Kalo bingung, nih pegangan." Dia menyodorkan tangannya padaku.

"Apaan sih." Aku tersenyum malu-malu.

Lagi-lagi dia tersenyum. Membuatku seperti orang idiot karna menatapnya tak berkedip.

"Yaudah, gua pulang. Hati-hati dirumah sendirian. Abis ini kunci pintunya."

Aku tersenyum simpul. Ah, kenapa Si pirang ini kaya ada manis-manisnya gitu ya?

"Iya... kamu juga hati-hati di jalan. Jangan ngebut. Jangan berantem lagi."

"Cie yang perhatian."

"Ih, apaan sih! Aku 'kan cuma nggak mau kamu kenapa-napa."

"Cie yang khawatir."

"Ck, udah ah! Sana pulang deh!!"

***

Karna udh gk update lama bgt, jadi hari ini aku update dua kali. Maaf ya klo cerita ini makin gaje dan gk jelas 😩

CHAIRMATE [DRAMIONE]Where stories live. Discover now