“Ah, Terima kasih, Miss Grey.” Balasnya sambil tersenyum dan meneliti beberapa dokumen sebelum akhirnya ia masukkan kedalam file box.

“Sama-sama Miss, Devonne. Semoga sukses untuk memenangkan rapat tender Anda.”

“Terimakasih sekali lagi, Miss Grey.” Sekali lagi disunggingkannya senyuman manis untuk membalas perempuan yang memiliki wibawa tinggi itu sebelum akhirnya bergegas pergi untuk menyiapkan dirinya.

Namun, langkahnya terhenti tiba-tiba setelah mengingat tempat dimana rapat tender itu akan dilaksanakan. Jakarta, Indonesia. Entah mengapa ia merasa tubuhnya menggigil ketakutan seketika.

*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*

Aku pingin kita bakalan tetep kayak gini terus sampe kakek nenek nanti. Kalo perlu sampe kita di kuburin nanti.” Ucapnya sambil memeluk sosok gadisnya dari belakang. Menghirup kuat aroma Racha yang mampu menenangkannya.

“Emang sih doanya bagus. Tapi yang terakhir itu kok kesannya ambigu gitu ya, Kak ?”

“Ambigu gimana ?” Di dongakannya kepalanya untuk menatap Racha yang tengah mengerucutkan bibirnya.

“Masa iya di kuburan nanti kita mau peluk-pelukan kayak gini ?!” Sontak ia tertawa keras. Menertawakan pikiran konyolnya.

Sanders hanya dapat menghela nafasnya kasar. Sudah empat tahun ini ia terbayang-bayang tentang sosok gadisnya, Farascha. Apakah gadis itu masih menjadi sosok manis berambut pendek ? Apakah gadis itu masih menjadi Rachanya yang dulu ?

Memikirkan itu semua mampu membuatnya tersiksa. Tersiksa karena rasa bersalahnya atas kesalahpahaman antara semuanya. Tersiksa karena rasa rindunya yang teramat menyakitkan dada. Tersiksa karena ia tak mampu melakukan apapun karena dengan bodohnya ia masih beranggapan bahwa ia dan Racha sudah berjodoh, sehingga nanti mereka akan dipertemukan kembali pada waktunya.

Pada waktunya ? Ia terkekeh sinis. Menertawai kebodohannya. Sampai kapanpun kalau ia tak memulainya, bisa-bisa waktu tak akan pernah datang untuk mempertemukannya.

Tiba-tiba suara interkom mengembalikan kesadarannya. Setelah mendengar nama Riko disebut, ia langsung menekan tombol untuk membuka pintu secara otomatis.

“Kenapa lo ?” Tanya Riko yang masih berdiri sambil menatapnya dengan tatapan bingung.

“Emang gue kenapa ?”

“Wajah lo kusut banget. Kenapa emang ?” Tanyanya lagi sambil mengambil posisi enak untuk duduk sembari menatap view yang disuguhkan kota metropolitan ini.

“Mikirin adek lo.” Ia mendengus kesal ketika Riko hanya terkekeh menanggapi kegilaannya.

“Mendingan lo cuti bentar terus liburan ke Perancis. Sambil nyari-nyari adek gue yang sat itu. Sebelum diembat orang.”

“Lah ! Kata lo adek lo masih setia sama gue !?”

“Ya elo kelamaan sih ! Kalo lo yakin lo jodoh sama adek gue, ya kejer sana !”

Ia tersenyum kecut. Tanpa sadar tubuhnya yang tadi tegang, kini menjadi sedikit rileks. Kemudian Sanders menghela nafas yang sedari tadi tak sengaja ia tahan. “Gue ambil cuti minggu depan. Minggu ini gue lagi sibuk-sibuknya ngurusin siapa yang bakalan menang tender terus jadi mitra gue.”

“Udah-udah, daripada lo mikirin ini terus mending kita ke café depan. Udah lama banget rasanya lo sama gue nggak main-main kesana. Gara-gara urusan lo yang itu.” Ucap Riko sambil menyeret paksa Sanders yang sebenarnya enggan untuk datang ke café milik Clara itu.

Tak membutuhkan waktu lama untuk mencapai café Red mengingat lokasi café ini dan kantornya hanya dipisahkan jalan raya super lebar. Sesampainya disana, ia langsung memesan espresso. Minuman pahit favoritnya. Sedangkan Riko lebih memilih green tea tanpa gula.

“Oh ya, gimana hubungan lo sama Sindy ? Ada kemajuan nggak ?” Tanyanya pada Riko sesaat setelah si waiter pergi.

“Lusa gue mau ngelamar dia. Resmi sama ortu gue juga.”

“Si Racha bakal seneng tuh kalo dia tau sahabatnya jadi sama kakaknya.” Entah mengapa menyebut namanya saja mampu membuat jantungnya berderup kencang sekaligus terasa nyeri di dadanya.

Riko terkekeh geli kemudian mengangguk pasti. “Dia udah tau dari Sindy sendiri. Dia langsung mencak-mencak minta penjelasan.”

“Dia sehat ?”

“Siapa ? Racha ?” Tanya Riko yang hanya diangguki olehnya. “Sehat. Banyak banget perubahannya. Mau gue kasih liat fotonya ?”

Sanders hanya bisa menggeleng tegas. “Biar aja gue kangen sampe penasaran gini. Gue mau liat sendiri dengan mata kepala gue. Yang asli. Bukan foto.”

“Terserah lo– Makasih.” Ucapnya ketika waiter meletakkan  pesanan mereka. Saat itu juga ia melihat sosok yang benar-benar mirip dengan sosok yang mampu membuatnya berdebar saat ini.

“Kopi lo.” Sontak ia menoleh dan mengangguk kecil sebelum akhirnya ia mencari-cari sosok itu lagi walaupun akhirnya ia hanya bisa menghela nafas kasar.

Mungkin hanya bayang-bayang yang menghantuinya.

LOVE STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang