SUNGGUH PAGI YANG ANEH

837 81 19
                                    


Sungguh pagi yang aneh

YUP. Anya yakin ia tidak salah mengenali. Ia memajukan tubuhnya, mengamati wajah cowok itu dari dekat. Walau telah banyak berubah, cowok itu masih memiliki senyum yang sama. Senyum yang membuat kedua matanya menjadi garis. Dahi Anya berkerut. Kenangan yang dimilikinya dengan cowok itu sama sekali tidak menyenangkan.

"HEI! Bukannya elo itu anak nakal yang dulu hobi banget ngelemparin kami batu?" Ia memasang muka garang sembari berkacak pinggang

Wajah salah tingkah cowok itu seolah mengkonfirmasi kata-katanya. "Emangnya kamu masih ingat, ya?"

"Jelas!" semprot Anya.

Cowok itu menggaruk kepalanya, benar-benar terlihat grogi. Kalau dilihat-lihat, cowok itu sama sekali tidak terlihat seperti bocah menyebalkan yang seperti anak setan itu. Kini cowok itu tampak lumayan ramah dan menyenangkan. Wajahnya pun cukup enak dilihat dengan kulit putih bersih, rambut hitam tebal yang agak mengombak, dan senyum yang lebar.

"Ngg, waktu itu aku kan masih anak-anak. Lagian, kayaknya aku pelempar yang payah, deh. Batunya nggak kena kalian, kan?" tanyanya memasang wajah polos.

Dengan sengit Anya menarik lengan kausnya. "NGGAK kena lo bilang? Lo lihat ini?"

Cowok itu tampak terperangah. "Tapi, batu kan nggak tajam," sergahnya.

"Nggak tajam dari Hongkong?" Anya meraba bekas luka yang menandai kulitnya. "Lagian emangnya lo nggak ada hobi lain selain gangguin anak-anak cewek di kompleks ini?" lanjutnya dengan nada tajam. "Hobi yang normal seperti main layang-layang, main sepeda, atau main game kek. Atau ini elo..." Ia berhenti, menunjuk kepalanya sebelum melanjutkan, "Memang ada kelainan?"

Senyum cowok itu terlihat menyesal. "Bukan begitu... Aku betul-betul nggak maksud bikin kamu luka kayak gitu. Tadinya aku cuma iseng. Swear."

Anya membenahi lengan kausnya. "Kalau gitu selamat deh, keisengan elo membuahkan hasil kerja nyata."

"Hei, aku minta maaf. Aku betul-betul nggak nyangka. Please, jangan marah lagi ya?" Ia lagi-lagi tersenyum. "Ngg, omong-omong, namaku Louis. Tapi, panggil aja Lou."

Dengan enggan Anya menyambut uluran tangan Lou. "Anya," ucapnya.

"Akhirnya kita kenalan juga ya," cengirnya. "Aku nggak nyangka kamu masih ingat aku."

Anya melepas topi dan menyisir rambut pendeknya yang terasa lengket dengan jari-jarinya. Pagi rupanya sudah mulai beranjak tinggi. Angin sejuk berangsur memudar. "Lo tau, ada dua jenis orang yang susah dilupain. Pertama yang bikin hati senang. Dan yang kedua, lo bisa tebak jenis yang gimana?"

Lou meringis. "Ngg, nyebelin?"

Kali ini tawa lepas dari mulut Anya. "Yup, seratus buat elo. Omong-omong, ke mana aja elo selama ini? Rasanya udah lama banget gue nggak liat elo." Ia mendongak, rumah Lou memiliki pergola yang dihiasi oleh bunga Bugenvil. Setiap pagi ia selalu melewati rumah ini sebagai rute tetapnya saat menjalani rutinitas lari pagi. Biasanya pagar rumah itu selalu tertutup rapat. Namun, pagi ini berbeda.

Kali ini pagar bercat putih itu terbuka. Ada dus di sudut luar pembatas pagar. Karena penasaran, Anya pun menghampirinya. Isi dalam dus itu membuatnya tercengang. Ada anak kucing di dalamnya. Mungil dan bertumpuk-tumpukan di salah satu sudut. Tampak begitu imut dan menggemaskan. Hampir saja ia tergoda untuk mengganggu tidur mereka. Saat itulah Lou keluar rumah dan mengajaknya mengobrol.

"Aku tinggal di Jakarta sekarang," jawab Lou. "Oh ya, kamu memang hobi lari pagi ya? Kayaknya beberapa kali aku pernah ngeliat kamu lari lewat rumahku."

FALLING STARSWhere stories live. Discover now