I

445 9 0
                                    

Pernahkah kamu bertanya mengapa senja berwarna biru tua, oranye dan hitam itu begitu menakjubkan? Pernahkah kamu menertawakan orang yang berbeda dengan pendapatmu karena senja? Aku ingat perdebatan kami di suatu senja yang komposisi warnanya bukan berwarna oranye, biru tua dan hitam melainkan warna abu-abu, biru dan putih. Dan tidak ada jawab karena jawabnya hanya mendung dan dia lawan bercandaku hanya menertawakan kebodohan kami. Sudah lama aku merindukan tawa itu, sudah lama pula aku memendam semua yang singgah di kepala dan hatiku ini. Tiga bulan lalu aku dipindahkan ke surga wisata Bali, harusnya aku bahagia, tapi aku merasa sepi. Dulu ada Genta yang teriak-teriak ngajakin makan diluar lah apalah kini aku berteman dengan sunyi, sepi, ombak, angin, pasir.

"Hei... Ngelamun," aku menatap Tara, teman baruku di kos, seorang pramugari maskapai BUMN.

"Suntuk banget gue Tar..."

"Yaelah semangat kenapa mbak... Main yuk ke pantai..." Aku mengangguk, berganti pakaian aku mengikutinya di belakang.

Prestasiku biasa aja, itu kata Genta sampe aku dipindah ke kota yang jauh dari Ibukota. Pemikiran luar biasaku dibutuhkan disini itu kata pak Har atasanku dulu. Dan aku kaya anak ayam kehilangan induk di sini . Kantorku sepi disini tidak banyak proyek seperti di Ibukota yang seringkali tidak membiarkan engineer tertidur. Kami harus berjuang demi miliaran nilai proyek yang akan menguntungkan perusahaan dan juga menguntungkan kami. Apa yang kami harapkan saat seluruh kehidupan kami hanya kami habiskan di kantor, proyek dan di jalan? Upah. Hal yang bisa digunakan untuk melirik Bottega Veneta, monsterbag Fendi, atau hanya jajan Zara atau Stradi, yang bagi kami engineer bahkan kadang ga guna dan hanya mengonggrok di lemari atau walking Closet karena jelas ransel lebih berguna buat kami wanita-wanita tangguh ini.

Rambutku berkibar-kibar karena lupa menalinya. Aku sudah lupa kapan terakhir kali aku merawatnya. Mungkin segera akan kulakukan kalau aku menyelesaikan kerjaanku minggu ini sebagai self reward.
Bunyi khusus untuk Genta mengalun di ponselku, cowo setengah cewe yang tulus bersahabat dengan aku ini ingat menelponku. Aku begitu percaya padanya lebih dari orang yang kukenal, entah apa alasannya tapi aku sangat nyaman dengannya.

"Ga inget punya sahabat lu ye..."

"Engga..." Jawabku sebodo.

"Kampret lu, gimana disana?"

"Sepi... Masih bisa balik jam lima teng gue."

"Oke fix Minggu ini lo bantu gue rekap," ancaman serupa minggu lalu. Aku ber- hahaha hihihi dengannya, melepaskan semua kekalutanku. Cuman dia orang yang tau apa alasanku menyetujui pindah ke sini dan ga memilih resign.

Pantai ga jauh dari kosku, aku membayar mahal untuk kenikmatan berteman alam di kosku. Aku setengah berlari dengan Tara saat rintik-rintik hujan mulai turun.

Dinding kamarku belakang hanyalah kaca. Aku meraba kaca itu melihat hujan dengan petir menggelegar, duduk bersila memandang hujan. Ya Tuhan rindu ini harus kutaruh dimana?

"Mbak Cia makan... Delivnya dateng..." Suara cempreng Jenny membuyarkan lamunanku. Hidup bareng pramugari-pramugari disini membuatku kenyang hidup dan makan gratis. Mereka selalu bilang aku keren bisa jadi insinyur dan kata-kata yang menjunjung tinggiku. Tapi aku malah iri dengan mereka saat mereka bisa kemana saja sambil kerja dan gratis.

"Hmmmm enak..." Jenny delivery ayam krispi dari mcD fastfood favoritnya.

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Aku paling tua disini, kata mereka emang aku ngemong mereka banget. Kami cuman berempat dan mereka bertiga adalah pramugari. Kadang saat aku masih bantuin Genta entah gambar atau hitungan mereka ikut nimbrung, liat dan memuji-muji.

"Mbak Cia yang tugas bikinin minuman nih..."

"Woke, mau apa? Kopi item? Wedang Jahe?"

"Ogah kopi item besok terbang... Susu putih pake Jahe boleh mbak?" Aku mengangguk. Kata mereka aku juga pandai masak. Kadang aku masak makanan rumahan disini dan mereka suka, padahal kadang cuman geprek ayam, capcay, apa nasi goreng, masih amatir.

"Mas Ben tugas mbak?" Aku hanya mengangguk, cowo campuran Jawa, Manado, Belanda yang setia nungguin aku move on itu abang mereka tercinta, pelindung, pengayom dan panutan mereka yang akhirnya dijodoh-jodohkan dengan aku.

"Gue bakal nungguin sampe cerita cinta elo kelar, sampe elo cape nungguin Panjul."

Aku hanya tersenyum. Usianya sama denganku, dia juga lelah berhubungan dengan cewe yang ga pasti. Mungkin aku akan berlabuh padanya kalo sampe beberapa tahun lagi semua ga berubah.

"Aku baru sampe di hotel ini Key..."

"Iyah istirahat dulu sana."

"Besok makan malem sama aku yaa, aku besok kelar jam 8."

"Oke see yaaa."

Ada yang membisikkan kalimat gila dua bulan lalu padaku. Aku tersenyum mengingatnya.

"Kamu mempesona, memikat laki-laki, tapi kamu kaya asep lewat doang susah dipegang, ga bisa dimiliki."

Ben mengucapkannya dengan lantang setelah ajakan makan kedua kutolak. Batinku dan hatiku ga bisa diboongi, entah seberapa banyak lelaki hilir mudik di kehidupanku cuman Panjul yang ada dikepala sialanku. Aku jelas ga terima dibilang kaya asep dan malah menjadwalkan makan malem ketiga.

"Iyah rewel ini otewe..." Jam setengah sembilan aku baru jalan padahal tadi dia bilang delay sejam.

"Manyun pastii, gue tunggu depan yah babe..."

Bizarre Love TriangleWhere stories live. Discover now