Chapter One of Timeless

31 1 0
                                    

Kontrol, Jake . Jake selalu mengingat satu kata tersebut. Seperti halnya saat ini, yang ada di pikirannya hanya satu kata tersebut, kontrol, Jake. Jake berusaha sekuat tenaga, namun usahanya sia-sia. Nafasnya sangat kencang, jantungnya berdetak sungguh keras sampai dirinya sendiri bisa mendengar, tangan kiri nya berusaha tetap menggenggam cangkir kopinya. Jake tidak ingin menaruh cangkir kopinya di atas meja walaupun tangannya bergetar dengan hebat dan kemungkinan 50% cangkir pemberian ibunya itu akan jatuh. Tidak, Jake harus tetap menggenggamnya. Ia harus berani mengambil resiko.  Apabila Jake menaruhnya diatas meja, berarti ia menyerah. Ia bukan tipe orang yang dengan begitu saja menyerah. Jake tidak suka kalah. Ia harus menang. Kontrol, Jake. 

Jake memejamkan matanya, kemudian  menarik napas dalam-dalam, manahannya dalam hitungan 3 detik, kemudian menghembuskannya. Ulangi. Dalam 3 detik berharga itulah Jake dapat kembali melihat ibunya. "Tiga..." Jake mulai menghitung.

"Hai, Jake", suara lembut itu mulai merasuki diri Jake, seperti setiap udara yang Jake hirup, menyebar ke setiap penjuru tubuhnya, menuju jantungnya, kata itu menepuk-nepuk jantung Jake agar berdetak sesuai iramanya.

"ibu", tak ada kata lain yang harus Jake ucapkan. Jarak antara ia dan ibunya hanya satu langkah. Jake melangkahkan kakinya, memeluk ibunya dengan kedua tangannya, tidak pernah akan ia lepaskan.

"Dua.." Jake melanjutkan hitungannya.

"Kontrol, Jake. Semuanya akan baik-baik saja. Pegang kata-kataku ini. Sekarang lepaskan tubuhmu dariku, berdirilah layaknya seorang pria, tegakkan tubuhmu. Ibu tau kamu bisa. Ibu membesarkanmu untuk jadi seorang pemenang. Menangkanlah permain bodoh ini Jake. Kontrol." 

Jake tidak ingin melepaskan ibunya. Jake tidak mendengarkan kata-kata ibunya, Jake tidak peduli.  Yang Jake inginkan sekarang hanyalah ibunya, bukan yang lain. Jake sudah berjanji tidak akan melepaskan ibunya, dan janji itu tidak akan Jake ingkari. 

"Tiga..." Seketika itu juga Ibunya menghilang dari pelukannya walaupun Jake berusaha sekuat tenaga untuk tetap memeluk ibunya. Jake mengingkari janjinya. 

Jake membuka matanya. Tangannya mulai berhenti bergetar, napasnya kembali teratur. Jake menegakkan tubuhnya. Semakin erat mengenggam cangkir kopinya. Cangkir itu tidak jatuh dan tidak pecah. Jake menang.

"Semuanya tidak akan baik-baik saja, bu. Tidak akan. Inilah hidup. Kau berbohong kepadaku, dan begitu bodohnya aku percaya dengan kata-katamu. Maafkan aku bu, tapi beginilah kenyataannya. "

Jake menenangkan dan mengingatkan dirinya kembali. Disinilah dia. Berdiri di apartemen termahal di ibu kota. Berdiri menatap ke luar dunia yang begitu kejam lewat sebuah jendela apartemennya. Menyeruput kopi panas yang ia sajikan di cangkir pemberian ibunya. Tak ada hal yang berubah. Ia selalu melakukan hal ini setiap paginya, menatap ke luar jendela. Berpikir dan merenungkan. Namun 2 bulan ini, tak ada ibu yang berdiri disampingnya yang ikut menemani Jake melihat betapa kejamnya dunia, ikut berpikir dan merenungkan. Sekarang Jake sendiri. Jake harus menghadapi dunia ini sendiri. Mungkin memang beitulah seharusnya. Selama 2 bulan itu Jake sudah mulai menerima kepergian ibunya. Namun yang Jake lakukan hanya menerima, tidak lebih dari itu. Lubang kekosongan itu akan terus ada di dalam diri Jake karena Jake tidak berusaha menutupnya, Jake hanya berusaha menerima bahwa lubang itu yang dulunya tidak ada sekarang ada.

Sudah cukup ritual berdiri di depan jendela ini. Jake harus kembali ke kehidupan nyatanya. Melupakan segala yang ia pikirkan tadi, termasuk melupakan ibunya. Karena jika ia kembali memikikarkannya lagi, ia akan terperangkap di dalam pikiran itu dan tak akan bisa keluar, kemudian hal itu akan terjadi lagi, Jake harus memejamkan matanya lagi. Jake tidak ingin, cukup sekali saja hari ini.

Ia mengahabiskan kopinya kemudian mencuci cangkirnya dengan hati-hati. Mengelapnya dan menaruhnya di lemari khusus untuk cangkir itu. Jake mengambil jas hitamnya, menaruh lencananya di pinggang, dan pistol di belakang pinggangnya. Handphone nya berdering. Itu dari Lisa salah satu asistennya di kantor.

"Hai, Lisa. Aku baru saja akan keluar dari apartemenku. Tunggu aku di kantor 20 menit lagi."

"Hai, Jake. Aku sudah berada di kantormu. Aku membutuhkanmu sekarang juga. Cepat bergegaslah, please." kata Lisa.

Jake kaget, tidak biasanya Lisa menelpon pagi-pagi. Tidak biasanya juga hari senin Lisa datang sepagi ini karena setiap hari senin ia dapat shift siang. Setiap orang membenci hari senin, namun Lisa menyukainya lebih dari apapun. 

"Kau sudah ada di kantor sepagi ini???? Apa yang terjadi?. Jarak antara apartemenku dengan kantor cukup jauh. Kau harus bersabar Lis". Jake mengambil tas nya dan melangkah menuju pintu.

"Please, Jake." Suara Lisa bergetar. "The Chopper  ada di sini Jake. Berdiri tepat dihadapanku. Tolong aku Jake, aku mohon bergegaslah."  Suara Lisa pecah, Lisa mulai menangis. Telepon pun dimatikan.

Jake berhenti melangkah. Dia mematung di depan pintu. The Chopper  si pembunuh yang Jake incar selama satu bulan ini, yang Jake cari sampai ke ujung-ujung kota yang tak pernah terjamah oleh orang banyak sekarang berdiri tepat dikantornya. Tempat yang seharusnya tidak didatangi oleh seorang buronan. Dan ia bersama Lisa. Jake harus bergegas. Ia memasukkan handphone ke saku jasnya. Jake membuka pintu apartemennya. Dan disana ia melihat seseorang yang seharusnya tidak berdiri di depan pintu apartemennya. Bahkan seseorang ini seharusnya tidak berada dimanapun di dunia ini.

Jake tidak dapat bergerak. Kakinya tak bisa melangkah. Mulutnya susah untuk berbicara. Ia merasa menjadi patung.

"Ibu?"





-K. Weirmoriarty-



Timeless.Where stories live. Discover now