Prolog

104K 1.8K 101
                                    

Prolog

Aku melihat seorang wanita dengan kain jarik yang telah melorot itu berlari ke arahku. Ia berlari kebingungan sambil menggandeng putrinya yang kuperkirakan berusia 8 tahun. Di ujung belokan ia berlari ke arah kereta kuda milikku. Kereta kudaku yang saat itu menghalangi jalan karena aku baru saja menurunkan bijih kopi yang telah kujual kepada seorang pengusaha kedai di Kota Ardaka. Kudaku yang kala itu sedang minum tidak mungkin aku jalankan karena kuda akan mengamuk jika dia diganggu ketika makan atau minum.

Aku yang berdiri di belakang kereta tepat berdiri di depan wanita itu. Kulihat wajahnya biasa saja. Rambutnya lurus kebelakang, raut mukanya yang tirus di bagian pipi, bibirnya yang gincu, dan hidungnya yang sedikit pesek. Aku berpikir ia adalah seorang pelacur yang melarikan diri dari majikannya. Namun yang menjadi perhatianku adalah ia memiliki buah dada yang begitu menggoda.

Aku melihatnya berlari tadi, jadi aku melihat buah dadanya berayun kesana kemari dengan begitu bebasnya. Aku melihat putrinya yang kuperkirakan berusia 8 tahun. Wajahnya yang lugu dengan rambut pendek berantakan, membuat dirinya pantas untuk dikasihani. Secara spontan aku berkata "Jalan tertutup, sini masuklah!".

Aku membuka kain di kereta kudaku. Wanita itu menggendong putrinya dan aku bantu untuk menangkapnya. Aku membuka kotak sayuran yang ada atas kereta kudaku dan memasukan Putrinya kesana. Iapun ikut masuk kesana dengan wajah was-was karena kotak itu terlihat terlalu sempit untuk mereka berdua. Namun kotak yang terbuat dari rotan itu ternyata cukup untuk mereka. Aku turun dari kereta dan menutup kembali kain penutup kereta kudaku tersebut. Aku melihat dari bawah kereta ternyata kudaku sudah tidak haus lagi. Aku menyisipkan tubuhku di cela gang sempit itu untuk berjalan ke depan kereta kuda.

Akhirnya aku berhasil sampai di depan kereta. Aku mengambil ember tempat minum kudaku dan memasang gantungan ember itu di samping gagang kereta kuda. Lalu kupacu pelan kereta itu keluar dari belakang kedai itu. Aku aku pulang ke pekebunanku di desa Banduwangi. Disana aku memang hidup sendiri. Kedua orang tuaku entah pergi kemana. Aku tinggal bersama nenekku yang telah meninggal setahun yang lalu. Terpaksa aku mengurus kebun kopi itu sendirian.

Aku memanennya sendiri dan menjualnya ke kota. Tidak ada teman bagiku karena teman seumuranku kebanyakan merantau ke kota besar untuk menjadi Ksatria Keraton. Bayarannya cukup lumayan untuk hidup sebagai merantau. Terkadang teman-teman sebayaku berhasil pulang dengan memperistri gadis kota. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Sifatku yang selalu teguh memegang amanah, selalu membuatku berpikir dua kali apabila ingin meninggalkan Rumahku di desa Banduwangi. Nenekku berpesan untuk tetap menjalankan kebun peninggalan Kakek, karena komoditas kopi di desaku adalah yang terbaik.

Kopi-kopi ini aku kirim ke kota setiap habis panen. Banyak yang memesan bijih kopiku karena tuak sudah dilarang di kota ini.

Namaku Ahras, usiaku 23 tahun, aku hidup sendirian di perkebunan kopi peninggalan kakek dan nenekku. Rambutku berwarna hitam lurus pendek. Tubuhku tidak begitu besar namun sedikit berotot. Sekarang aku dalam perjalanan pulang ke desaku, bersama wanita dan seorang putrinya yang dalam pelariannya.

Setelah keluar agak jauh dari kota Ardaka aku menghentikan kudaku dan memeriksa kotak sayur yang berisi wanita itu. Aku buka perlahan, terlihat wajah wanita yang seksi itu melihat ke arah mataku. "Kita sudah sampai diluar kota."

Ia kemudian bergegas berdiri dan melompat dari kotak sayur itu. Dia melompat turun dan berlari dari kereta kuda. Putrinya menangis melihat ibunya pergi darinya. Aku secara reflek mengejarnya. Ia masuk kedalam hutan tanpa berkata apa-apa. Ibu macam apa itu, meninggalkan anaknya sendirian. Aku harus mengalihkan ranting-ranting daun yang menghalangiku. Ia menghilang di balik pohon jati besar.

Aku mengejarnya ke arah pohon itu dan menemukan ia sedang jongkok di bawah pohon itu. Ternyata Ia berlari karena ingin buang air. Suara desiran air terdengar di telingaku. Suara yang cukup keras karena mungkin ia telah menahan air kencingnya terlalu lama. Sempat terlihat kedua bongkahan pantat yang cukup besar menurutku. Aku malu dan membalikan badanku dan berjalan ke arah kereta kudaku tadi. Tak kusangka dia berlari karena ia ingin buang air kecil. Aku melihat putrinya yang menangis meneriakkan kata-kata ibu.

Aku yang iba menggendongnya untuk menenangkannya. Tiba-tiba munculah sang ibu dengan wajah merah padam karena malu. Mungkin Ia mengira aku telah melihat bongkahan pantatnya yang tersibak ketika ia kencing tadi. Ia tidak mengatakan apa-apa ketika Ia meminta anaknya kembali ke gendongannya.

Aku bertanya "Siapa namamu?" Ia hanya diam dan berjalan melaluiku untuk kembali ke kereta kudaku. Aku merasa tersinggung atas sikapnya yang apatis itu.

Aku kembali bertanya "Mau kemana kau?" Ia menjawab "Aku tidak punya tempat tinggal!"sambil berpaling ke arahku. Kulihat matanya berkaca-kaca. Aku merasa ada tanda kesedihan yang terpancar dari matanya.

"Baiklah, kau punya keluarga, atau seseorang yang kau kenal?" Tanyaku.

"Hanya pelacur dan mucikari di Rumah pelacuran Ardakalah yang aku kenal." Ujarnya. Tebakanku benar, Ia adalah seorang pelacur dari Ardaka.

"Kenapa kau lari dari mereka?" Tanyaku lagi lebih serius.

"karena mereka ingin memakai putriku?" Ujarnya. Bangsat! Orang macam apa yang ingin melakukan hal seperti itu kepada gadis berusia 8 tahun ini. Aku tidak habis pikir, banyak wanita cantik dan bohay di tempat pelacuran. Kenapa orang itu menginginkan gadis ini. Benar-benar psikopat. Itulah yang terbeslit dipikiranku.

"Bagaimana denganmu selanjutnya?" tanyaku.

"Aku tidak tahu, terserah kau!" ujarnya.

"Tidak bisa, kau tidak bisa ikut denganku, desaku berjarak 3 hari dari sini!" keluhku.

"Aku bisa tidur dirumahmu, tidur di ruang tamu tidak apa!" katanya.

"Bukan masalah itu, aku adalah seorang petani kopi." Kataku namun disela olehnya.

"Kebetulan aku pernah bekerja di kebun kopi, aku bisa memasak, aku bisa memijat, dan melakukan pekerjaan rumah tangga" Rayunya.

Aku kembali berpikir, bahwa kalau aku punya seseorang lagi untuk mengurus kebunku. Penghasilanku akan berlipat ganda. Aku bisa lebih cepat dalam memanen kopiku dan aku tidak perlu lagi memasak untuk diriku sendiri. Lagipula mereka tidak memiliki apa-apa dan tidak punya siapa-siapa. Aku hanya perlu memberi mereka makan saja setiap harinya, tanpa harus membayar mereka. Kalaupun kuberi upah, mereka juga tidak akan bisa kemana-mana.

Mengingat desaku sangat terisolasi, kepeng hanya akan berlaku di kota. Untuk kekota memerlukan waktu tiga hari tiga malam. Bisa - bisa sebelum sampai ke kota, harimau akan menerkam mereka duluan. Yang lebih mengasikkan lagi aku bisa setiap hari melihat buah dadanya yang besar mengayun kesana kemari. Aku menelan ludahku sendiri ketika memikirkan hal itu.

"Baik, Naiklah, kau di terima di kebun kopiku." Ujarku.

"Tunggu dulu, siapa namamu?" tanyaku lagi.

"Saras, dan ini putriku Niar," jawabnya sambil menidurkan anaknya di lantai kereta.

"Baiklah, duduklah dengan tenang!" Kataku sambil menutup horden kereta kudaku.

Sak Wijining Dino (Pada Suatu Hari)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang