Senja Yang Terluka

263 4 2
                                    

Bulan malam ini begitu indah. Angin malam tak kuhiraukan. Untuk apa aku takut ketika aku berada di dekapan hangatnya.

Pria ini setiap hari tak pernah absen mengajakku melihat senja. Hingga adzan magriblah yang menyadarkan kita. Waktu berjalan begitu cepat. Terlalu cepat. Sungguh disayangkan aku harus rela melepaskan pelukannya.

Kami berjalan mengambil air wudhu. Kusiapkan baju koko dan
sarung yang akan dipakainya. Kubiarkan dia melangkahkan kaki keluar rumah menuju masjid. Sungguh, perempuan mana yang tak bahagia melihat prianya begitu mencintaiNya.

Aku terkekeh pelan ketika mengingat perkataannya.

"Aku tau kau begitu cepat merindukanku. Jika aku tak disampingmu sampaikanlah rindumu lewatNya. Dan kakak ingin jujur kepadamu dhik."

Hatiku berdebar-debar. Melihatnya yang tak pernah seserius ini.

"Ada yang aku sangat cintai melebihi aku mencintaimu. Jika dia menyuruhku untuk meninggalkanmu aku takkan bisa menolaknya."

Mataku berkaca-kaca memandang ke bawah dengan bibir bergetar aku melontarkan pertanyaan kepadanya.

"Siapa?" Ku beranikan memandang wajahnya.

Kulihat dia tersenyum lebar. Matanya berbinar penuh cinta.

"Allah"

Tangisku pecah begitu mendengar jawabannya. Aku memeluknya begitu erat. Sungguh, takkan kubiarkan dia jauh dariku.

Setelah dia pergi aku memutuskan untuk mengambil air wudhu dan sholat. Aku mengambil Al-Qur'an untuk membacanya. Aku mendengar langkah kaki mendekat kearahku. Kulihat pria itu tersenyum duduk berada di sampingku.

Waktu berlalu begitu cepat semua itu hanyalah tinggal kenangan. Tinggal sebuah cerita. Cerita keabadian yang takkan pernah henti aku ingin perbincangkan.
Tidak ada lagi waktu senja yang dilewati dengan senyum kebahagiaan. Walaupun seperti itu. Senja tetaplah senja.

Senja. Adalah kenangan di antara kita. Ditemani oleh hujan yang mengguyur. Kita lupa akan waktu yang terus berjalan sampai adzan magrib menyadarkan kita. Saatnya matahari berganti tugas dengan bulan. Sungguh, itu kenangan yang tak terlupakan. Kita selalu tersenyum menatap satu sama lain. Binar kebahagiaan terlihat jelas di mata kita. Tak perlu bibir mengucapkan. Tak perlu bibir menceritakan. Tak perlu bibir mengatakan, bahwa aku mencintaimu.

Kini aku hanya bisa menangis menatap senja sendirian. Menikmati hujan dengan penuh luka. Senjaku seakan sobek tak utuh lagi. Ketika kau pergi. Ketika kau meninggalkan aku sendirian.

Aku terkadang masih menyalahkan waktu. Kenapa dia tidak merangkak? Kenapa dia berlari begitu kencang? Hingga merenggutmu dari dekapanku. Sekarang tak ada lagi senyum yang menghiasi wajahku.

Aku hanya tersenyum ketika melihatmu dalam bayang kenangku. Mengingat senyummu yang begitu tulus. Senyummu yang menenangkanku. Kini aku sendiri dalam balutan luka yang begitu dalam.

Aku begitu benci kenapa kita harus dipertemukan bila akhirnya kita berpisah.

Aku terlalu lelah untuk bertarung dengan waktu untuk yang kedua kalinya. Cukup aku bertarung dengan waktu hingga akhirnya aku menemukanmu. Biarlah aku sendiri dalam malamku yang gelap. Dalam senjaku yang sobek.

Aku merindukan dekapanmu. Aku merindukan senyum tulusmu.

Aku masih mengingat pesanmu dengan baik. Ketika itu kau tersenyum dengan wajah pucatmu. Kau mengatakan kau mencintaiku. Aku hanya bisa menangis mendengar pesanmu. Bagaimana mungkin aku mencari penggantimu. Ketika kau pergi. Aku hanya bagaikan seonggok daging tak bernyawa.

"Kakak mencintaimu selalu, tetapi mungkin kita hanya sebatas sampai pertemuan bukan kebersamaan."

"Kakak harus optimis. Bukankah kita telah bersama?"

Senyum mengembang diwajahnya.

"Tentu, bersama tetapi mungkin tak bisa mencapai seperti yang kamu impikan. Carilah penggantiku. Tersenyumlah dengannya. Aku tetap mencintaimu biarlah hujan yang menjadi saksinya."

Hujan mengguyur begitu derasnya. Aku tersenyum walaupun hatiku menangis. Walaupun dirinya memintaku mencari penggantinya. Aku takkan bisa melakukannya. Akan lebih banyak yang tersakiti nanti. Jika dalam hidupku hanya ada bayangnya.

Aku hanya bisa berharap kelak aku bersama dirinya disurgaNya.
Pria bermata indah itu. Dengan senyum yang menawan. Dengan rahangnya yang begitu kokoh.
Pria yang menjadi satu-satunya laki-laki yang dibiarkan memelukku setelah Ayahku.

Mengingatnya adalah kebahagiaan tersendiri dalam setiap denyut nadiku. Mengingat sikap lembutnya dengan tutur katanya yang membuatku merasa tenang. Yang membuatku nyaman ketika berada di dekapannya.

Aku merindukanmu priaku.

About LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang