Kopi Pahit Manis

827 20 0
                                    

Awal yang indah seharusnya berakhir dengan manis. Pagi ini aku ditemani dengan secangkir kopi yang mengepul. Dengan memandang langit pagi yang begitu memikat diri. Indah, semua ciptaannNya selalu indah. Malam tadi aku menangis ketika harus berbicara tentang dirinya. Seseorang yang tak pernah sekalipun memandangku. Aku kira kisah ini akan berakhir dengan manis. Tetapi, ternyata ini lebih pahit dari kopi yang sedang kunikmati. Menikmati kepahitan dengan kepahitan.

Aku masih ingat dan akan selalu kuingat ketika aku selalu berpapasan dengannya. Pipiku selalu merah merona padahal aku tak pernah menyapanya. Bolehkan kusebut dia dan diriku menjadi 'kita' untuk mempersingkat kata? Aku selalu menundukkan pandanganku dan dia selalu menundukkan pandangannya. Kita saling menunduk dan memalingkan muka. Kutahu dirinya mengukir senyum, sama denganku. Terlihat manis. Terlihat romantis. Tetapi berakhir dengan tangis.

Pagi yang cerah untuk hati yang baru, baru patah maksudnya.  Tetapi aku tak pernah kecewa untuk rasa rasa yang pernah ada. Aku takkan pernah kecewa untuk rindu yang menyiksa. Aku takkan pernah kecewa untuk luka, luka yang kurasa. Karena hakikatnya kuat ada karena luka. Bukankah aku benar? Aku sudah mulai beranjak dewasa. Memandang luka sebagai sebuah kekuatan itu sudah yang seharusnya.

Matahari kian melambung tinggi. Tetapi, harapanku kian menukik ke bawah, jatuh. Hukum kebalikan itu memang nyata adanya. Ketika kita menyelipkan nama seseorang di dalam do'a. Kita bersama seseorang yang menyelipkan nama kita di dalam do'anya. Allah selalu memberikan yang terbaik bukan? Seperti kita menginginkan 'motor' tetapi Allah kasih kita 'mobil'. Jika tidak mendapatkan yang kita inginkan, Allah akan memberikan yang lebih dari itu semua.

Kopiku tak terasa sudah habis. Seperti malamku yang penuh tangis sudah berganti dengan pagi yang penuh dengan keceriaan. Kopiku menyisakan kemanisan. Sudahlah, air mataku selalu memahamiku kapan dia harus keluar. Sama seperti kapan aku harus melepaskannya.

Pikirku sekarang kosong tanpa ada namanya. Pikirku sekarang hanya ada kenangan. Aku mulai menuju ke dapur mencuci gelas tadi supaya dapat terisi dengan yang lain. Sama halnya aku harus menghilangkan dia dari dalam hati, agar aku dapat mengisinya untuk seseorang yang memandangku tanpa 'jijik' memandangku penuh dengan kelembutan.

Kringg..

Bel pintu rumahku berbunyi. Kenapa dia tak datang di saat aku berada di luar rumah tadi. Sama seperti aku tak bisa menduga kedatangannya yang mendiami hatiku, lalu pergi mengukir luka, lucu sekali. Aku harap tamu itu tak meninggalkan jejak luka setelah melangkahkan kaki ke dalam rumah ini.

"Assalamu'alaikum." Salamnya dengan santun dan suara yang begitu tegas.

"Wa'alaikumussalam, Kamu siapa ya?" Jawabku dan kemudian melontarkan pertanyaan.

"Aku, Fajar." Jawabnya.

Fajar? Oh masa lalu. Kenangan itu kembali terputar. Waktu yang relatif singkat dengan meninggalkan kenangan yang begitu dalam. Tetapi, perginya dulu tak sesakit seperti ketika 'dia' meninggalakanku saat ini. Dia pergi masa lalu hadir. Oh menyebalkan sekali. Apa yang ada dipikiran anak SD dulu ketika melihat orang yang dingin tetapi pandai. Dia mampu mengalahkanku waktu itu padahal aku yang sering juara kelas. Dia hadir dengan gagahnya. Itu bukan cinta, hanya kagum. Kagum, tidak lebih dan tidak kurang.

"Oh, Fajar anak pindahan di SD itu ya?"

"Iya."

Masih irit bicara dia rupanya. Tetapi, senyumnya selalu menawan.

"Ehh tapi maaf, aku tak bisa mempersilahkanmu masuk. Umi dan abiku tidak ada di rumah. Jika aku mempersilahkan masuk takut akan ada fitnah."

"Tak apa aku ke sini cuma sebentar. Aku cuma mau memberikan ini kepadamu."

Undangan berpita merah dengan corak 'love' terlukis indah dicovernya.

"Wah, Alamdulillah kukira kau akan melupakanku. "

"Bagaimana aku bisa melupakanmu. Aku harap kamu datang. Tentu saja."

Dia kemudian pamit untuk pergi. Undangan pernikahan? Kak Rian tak melupakanku, akhirnya dia menikah. Fajar adik dari kak Rian. Sebenarnya aku lebih dekat dengan kak Rian dibanding Fajar. Tentu saja kakaknya itu sangat ramah dan bersahabat tidak seperti dia manusia dingin es tak berperasaan itu. Ehhh.. Haha dia sudah pergi jadi tak mungkin mendengar gerutuanku tentangnya. Manusia es.

Ada perasaan bahagia menerima undangan ini. Ah, aku jadi merindukan kakakku itu. Kak Rian sudah seperti kakakku sendiri. Kejahilannya dan ceplosan ringannya membuatku tak henti untuk tertawa.

"Kentut bisa nggak ya disilent seperti ponsel? Kenapa kentut itu bisa bunyinya beda-beda ya? Bisa tuh dijadikan melodi ketika ada sepuluh orang deh kentut bersamaan jadi melodi mungkin ya?"

Dasar. Aku jadi ingat masalah 'kentut' itu jika teringat dengan kak Rian.  Dia itu rajanya jail. Bayangkan ketika itu aku tak sengaja melihatnya dijalan dengan menasihati orang yang 'pacaran'.

"Kalian tau pacaran itu  tidak baik. Berdua-duaan dijalan. Bergandengan tangan. Maksiat brooo." Gayanya sok alim, iya gapapa sih daripada sok kafir.

Tetapi lebih lucunya lagi yang diceramahi itu ternyata sepasang suami istri. Seketika aku ketawa keras melihatnya lari pontang-panting dengan sandalnya ditenteng. Untung waktu itu tongkat baseball yang sedang dibawa oleh laki-laki itu tak jadi melayang kearahanya. Masih banyak lagi hal lucu tentangnya.  Jika aku mengingatnya aku melupakan rasa sakit ini. Fajar, ternyata kau hadir meninggalkan tawa. Jika kau tak hadir aku takkan mungkin mengingat kak Rian yang saat ini membuatku tertawa.

Kuikhlaskan dirimu untuknya. Kurelakan air mataku jatuh. Kurelakan hatiku terluka. Dengan begitu aku mendapatkan ganti melihatmu tersenyum bahagia.

Besabarlah... wahai hati

Kini kau tau jawabannya jika dia bukan milikmu

Bersabarlah... wahai hati

Untuk duka sesaat ini akan memperoleh suka kelak nanti

Allah... . Kuikhlaskan dia menemukan tulang rusuknya. Jagalah dia dalam penjagaanMu. Bahagiakan dia dalam kehidupan penuh cinta kasihMu. Buatlah dirinya selalu tersenyum bahagia. Ridhai cinta di antara mereka.

Bersabarlah... wahai hati

Mari kita tatap masa depan dengan hati yang baru untuk orang yang baru. Untuk cinta yang berhak mendapatkan kasih sayangmu. Patahmu bukan akhir dari segalanya. Sambut dia, peluk dia, cintai dia. Jagalah hatinya dengan menjagamu hatiku.

Banyak orang yang mengatakn kopi 'pahit' tetapi setelah kita mengikuti alur dari kepahitan itu kita akan menemukan gelora kemanisan yang memmabukan. Itu bernama cinta abadi.




-semoga cerita singkat ini dapat menghibur-

Salam sayang dariku, Airly.

About LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang