Chapter 6 | Altair yang Kehilangan Langitnya

482 26 3
                                    

Najla tengah menatap langit malam keluar jendela kamarnya. Bulan sabit menggantung di atas sana. Di bawah jendela tersebut, terdapat sebuah kursi yang menjadi tempat favorit Najla mengamati langit. Di telinganya tersumpal earphone yang tersambung ke walkman miliknya. Mengalun merdu senandung lagu berjudul Sebelum Cahaya milik grup band Letto. Grup band kesukaan Najla.

Tidak banyak lagu di walkman tersebut. Hanya ada empat lagu di sana. Sebelum Cahaya, Sandaran Hati, Ruang Rindu dan Memiliki Kehilangan. Yang kesemuanya adalah lagu milik Letto. Banyak kenangan yang tercipta lewat lagu-lagu tersebut. Tentang seseorang yang hidup dalam setiap kenangan Najla.

Memori tersebut tersimpan rapi di sudut ruang hati Najla yang terjauh dan terdalam. Berharap tidak ada seorangpun atau sesuatu pun yang dapat menemukan dan membukanya. Bahkan ia harap dirinya sendiri pun mampu melupakannya dan tetap membiarkan memori tersebut pada tempatnya. Hanya satu inginnya. Agar memori yang telah ia buat akan selalu menjadi memori yang indah. Bukan memori yang berubah menjadi sebentuk kenangan yang pahit dan menyakitkan. Seperti yang saat ini seringkali ia rasakan jika mengingat masa lampau.

Kini, Najla masih berpikir bagaimana caranya agar bapaknya mengizinkan Najla untuk ikut LDKM. Sejak hari di mana Najla meminta izin dan tidak diizinkan, ia tidak pernah membahas itu lagi. Malam ini, ibunya akan membantu Najla meminta izin kepada bapaknya.

"Teh, ibu udah ketok pintu tadi, tapi kamu nggak jawab. Ternyata lagi denger lagu." Najla yang merasa ada yang mengelus pundaknya, menoleh. Ina berdiri di belakang kursi Najla.

"Gimana, Bu?" Tanya Najla sambil melepas earphone dari telinganya.

"Ga berhasil, Teh. Bapak tetep nggak ngebolehin. Kamu tau kan apa sebabnya?" Pundak Najla merosot mendengar penyataan sang ibu. Najla mengangguk perlahan.

"Bapak punya alasan kenapa nggak ngebolehin kamu. Bapak takut kamu sakit lagi. Ibu sama bapak khawatir sama kamu." Jelas Ina kepada putri pertamanya tersebut. Dua tahun lalu, ketika kenyataan yang tiba-tiba itu datang, Ina, Rendra dan Najla sama-sama terluka. Namun saat itu, Najla masih kecil untuk mengerti bahwa dalam hidup, datang dan pergi adalah suatu keniscayaan.

Rendra dan Ina mengerti, bahwa kepergian adalah hal yang lumrah. Kepergian selalu mengiringi kedatangan. Dengan atau tanpa aba-aba, jika memang sudah waktunya pergi, mereka akan pergi. Mereka tidak punya pilihan untuk tetap tinggal. Seberapa ingin pun mereka. Tetapi Najla, tidak. Rasa sayang yang terbalut rasa bersalah itu tetap tinggal. Luka itu, tanpa Najla sadari belum juga sembuh.

"Tapi, Bu, emang ibu sama bapak pernah lihat Najla sakit lagi? Nggak, kan? Najla sekarang udah ga sakit lagi, Bu." Selain tremornya, Najla tidak pernah menunjukkan tanda-tanda penyakit lainnya. Sakit apapun itu. Fisik ataupun mental, ia tidak pernah menunjukkannya.

"Iya, ibu ga pernah lihat kamu sakit lagi. Ibu percaya, kok. Toh juga lambat laun kamu harus berhadapan sama ketakutan kamu." Ucap Ina mengelus rambut Najla dengan penuh kasih sayang.

"Ibu punya ide. Tapi, kamu harus benar-benar baik-baik aja. Bukannya pura-pura baik-baik aja." Najla menatap ibunya penuh tanya.

"Kamu minta bapak waktu untuk buktiin kalo kamu baik-baik aja." Jelas Ina. Najla mendekati ibunya yang duduk di pinggiran tempat tidur Najla.

"Caranya?" Tanya Najla sedikit bingung.

"Bapak takut kamu kenapa-kenapa kalo kamu ke laut lagi. Bapak takut kamu keinget kejadian dua tahun lalu." Mendengar ibunya mengucapkan kata laut saja membuat Najla bergidik. Matanya terpejam. Kali ini, ia tidak boleh menunjukkan hal tersebut. Apalagi di depan sang ibu.

Kala KehilanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang