Sonda memberanikan diri menghampiri wanita yang akhir-akhir ini selalu membuatnya cemas, ia berjongkok di sisi ranjang dan menatap wajah polosnya, tanpa sadar tangannya terulur dan menyentuh pipi halus Nara. Ia ingin sangat ingin mewujudkan impian Nara, ia ingin merasakan kebahagian itu bersama Nara dan juga Kirana. Tapi semua harapan dan keinginan itu terasa mustahil baginya, terlebih setelah surat ancaman itu datang padanya.

Sonda kemudian tersenyum miris dengan jalan hidupnya yang serba sulit, bahkan untuk merasakan sedikit saja kebahagian Tuhan tidak berkenan. Entahlah, entah sampai kapan ia harus bertahan seperti ini dan menunggu uluran tangan Tuhan.

****

"Sopan sekali kau datang berkunjung tengah malam begini?" Dito membukakan pintu apartemennya untuk Sonda, "apa kau tahu ini jam berapa?" Nada suaranya terdengar tidak ramah, tapi ia tahu Sonda tidak akan menemuinya tengah malam begini jika dirasa hal itu tidak terlalu penting.

"Bisa kita bicara sebentar, ada yang ingin aku tanyakan?" Sonda terlihat sedikit gelisah, meskipun ia berusaha untuk lebih tenang.

"Masuklah, apa yang ingin kau tanyakan? Dan sepertinya ada hal mendesak sehingga kau tidak bisa menunggu sampai esok pagi." Dito menunjuk arah sofa dan menyuruh Sonda duduk, ia membetulkan kimono tidur yang dipakainya lalu ikut duduk bersama Sonda. "Ada apa?" Tanyanya lebih lanjut.

Apartement Dito terlihat dingin dan sepi seolah hanya dia seorang diri yang tinggal di dalamnya,

"aku mendapatkan surat ancaman ini sepulang bekerja dan Anda pasti tahu maksud dari isi surat ini." Dikeluarkannya surat ancaman yang sudah ia lipat tersebut dan diberikannya pada Dito.

Dito meraihnya lalu membacanya cepat, setelah tertegun sesaat ia mengerutkan dahi dan menatap Sonda, "aku tidak pernah memberimu surat ancaman semacam ini?" Jawabnya.

"Anda berhak untuk mengelak, tapi kematian Daniel mengingatkanku pada Anda. Itu sebabnya aku datang kemari."

"Jadi kau menuduhku melakukan ini semua? Shit... Aku memang menyuruhmu menikahi Nara dengan syarat, tapi aku tidak pernah melakukan hal konyol seperti ini!" Nada suara Dito berubah tinggi, ia merasa tersinggung dengan ucapan Sonda yang menuduhnya tanpa bukti jelas. Bisa saja orang yang ada di rumah tersebut yang mengirimi Sonda surat ancaman untuk menghancurkan pernikahan mereka.

"Kalau bukan Anda lalu siapa? Bukankah Anda yang sangat menginginkan hidup Nara menderita! Tanpa disakitipun Nara akan sangat menderita setelah aku pergi meninggalkannya, seperti yang telah aku janjikan pada Anda. Tapi untuk sekarang aku belum bisa memenuhi semua syarat-syarat yang Anda ajukan itu, Nara masih berkabung atas kematian Daniel dan aku tidak mungkin kalau harus menambah penderitaannya."

Dito diam, amarah yang tadi sempat memuncak perlahan bisa ia kendalikan setelah mendengar penuturan Sonda, tidak ada yang salah dari ucapannya itu. Sonda benar, penderitaan Nara berada ditangan Sonda bukan dirinya. Lalu apakah ia harus bahagia mendengar janji Sonda yang akan pergi meninggalkan Nara setelah Nara benar-benar jatuh cinta padanya atau ia harus sedih melihat Nara kembali terpuruk seperti beberapa bulan lalu ketika Daniel memilih pergi. Akan lebih gampang mengendalikan Nara jika suasana hatinya sedang tidak baik.

Kali ini Dito tersenyum dalam hati, ia merasa puas dengan pilihannya. Tidak salah ia memilih Sonda sebagai pengganti Daniel, Sonda lebih bisa diandalkan dari pada Daniel, ia mempunyai kepribadian yang tangguh dan kuat sehingga orang-orang yang berniat licik tidak akan mampu menggoyahkan pendiriannya, ia yakin Nara akan sangat mencintai Sonda dan mempercayakan hidup dan matinya pada suaminya itu.

Sungguh, Daniel dan Sonda dua pribadi yang berbeda. Dahulu Daniel mamilih membantunya hanya karena jumlah uang yang ditawarkan, tapi setelah ada yang memberinya lebih banyak lagi Daniel malah berpaling dan memihak pada orang yang memberinya lebih banyak. Sampai di hari kematiannya Daniel tidak mengatakan apapun tentang siap orang yang menyuruhnya.

HARUSKAH?Where stories live. Discover now