Epilog

14.5K 623 9
                                    

"Astaga, Edward!!!" pekik istriku yang akhir-akhir ini menjadi sangat cerewet. Tapi hal itu sama sekali tidak menyirnakan rasa cintaku padanya. Aku maklumi semua sikap sensitive nya karena mungkin itu adalah faktor kehamilan.

"Apa yang kau lakukan? Kau memberantakan dapur lagi? Astaga." ocehnya lagi dan aku hanya bisa tersenyum dengan wajah tanpa dosaku.
"Pon? Pon?" panggilnya kepada pelayan setiaku yang ku pindahkan dari penthouse ke mension kami.
"Iya, Nyonya?" jawab Pon dan kenak kau Pon, bersiaplah.
"Apa? Nyonya?! Sudah ku katakan Pon, panggil aku Seline." ucapnya dan ku lihat Pon menatapku seakan meminta bantuan. Maaf Pon, aku mencintainya, bukan mencintaimu.

"Kemana pelayan yang lainnya? Kenapa membiarkan Edward memberantakkan dapur?" tanyanya lagi dan mungkin kali ini aku yang harus turun tangan lagi.

"Sayang? Aku hanya ingin membuatkan sesuatu untuk sarapan istri dan anakku." ucapku lembut setelah mencuci kedua tanganku. Yah, semenjak kehamilan istriku yang memasuki bulan ke lima, aku lebih memilih cuti menghadiri perusahaan kecuali ada meeting dan aku lebih memilih menyelesaikan tugas-tugas perusahaanku dirumah. Dengan begitu aku akan lebih bisa memperhatikan istriku dan melihat bagaimana perkembangan kehamilannya dari hari ke hari. Sekarang kehamilanya sudah mencapai bulan ke delapan dan perlu ku akui, aku belajar banyak untuk bersabar ketika menghadapi segala sikap anehnya. Seperti lebih sensitive.

"Untuk apa kau memperjakan banyak pelayan jika..."
"Hanya satu kali ini, Sayang." potongku lagi kemudian mengecup pipinya gemas. Dia tetap cantik dengan pipi kemerah-merahannya. Bukan karena aku menggodanya, tetapi karena faktor hormon saat hamil.
"Jangan menciumku! Kau pakai parfum apa? Menggantinya lagi? Astaga Ed, jangan..."
"Tidak Sayang, hari ini aku memakai yang paling ringan. Davidoff Coolwater." potongku ketika dulu Seline pernah mengatakan bahwa aku lebih cocok dengan wangi parfum ini karena lebih ringan dan tampak lebih maskulin.
"Tidak. Bukan. Jangan pakai yang ini lagi." ucapnya dan aku hanya bisa menurut padanya. Demi apapun, aku tidak bisa membantahnya.

"Baiklah, maaf Ed. Aku tidak bermaksud membentakmu, aku tidak tahu kenapa aku menjadi..."
"Tidak apa, itu efek hormon kehamilanmu." potongku dan Seline langsung memelukku padahal baru saja dia memarahiku akibat parfum yang mengganggu penciumannya. Sudah ku katakan, bagaimana aku bisa marah? Aku tahu dia seperti ini bukan karena keinginannya, tetapi ku katakan sekali lagi, ini efek hormon.

"Bereskan dapur dan buatkan sarapan." ucapku kepada Pon yang menatap kami dengan senyum merekahnya. Dia sudah terbiasa melihat hubungan rumah tangga kami, seperti hubungan rumah tangga pada umumnya, pasti ada sedikit adu mulut, beda pendapat, saling mengisi, saling menyemangati dll. Dan perlu ku tegaskan sesuatu? Sekarang Pon lah yang mengatur pelayan-pelayan bagian dapur, halaman, bersih-bersih dll. Kami percaya padanya.
"Baik, Sir." jawab Pon dan aku langsung menuntun istriku menuju ruang tamu.

"Kau mau berenang?" tanyaku dan dia membalasku dengan gelengan. Mungkin dia masih risih dengan parfum yang ku pakai.
"Tunggu sebentar, aku akan kembali." ucapku kemudian meninggalkan istriku diruang tamu.

Aku membasuh tubuhku sekilas, mengganti bajuku dan kali ini tanpa bau parfum jenis apapun. Aku keluar dan mendapati Seline duduk sambil mengelus-ngelus perut buncitnya. Aku menjadi tidak sabar menungguk kelahiran anak kami. Kami sengaja tidak melakukan test USG, biarlah semua itu menjadi kejutan bagi kami. Karena tidak peduli dengan jenis kelamin apa anak kami nanti, kami akan sangat menyayanginya.

"Kemana saja?" tanya Seline setelah melihatku duduk di sampingnya.
"Masih risih dengan..."
"Ah, maaf merepotkanmu." potongnya yang membuat hatiku menghangat. Aku langsung menariknya merapat pada tubuhku dan tangan kiriku mengusap pelan tempat kediaman anakku yang akan lahir dalam waktu kurang lebih tiga minggu lagi.

"Maaf Sir, sarapan sudah selesai." ucap Pon dengan sopannya. Aku dengan pelan menuntun istriku untuk berjalan ke ruang makan.

Kami duduk berhadapan dan dia mulai menyantap makanannya.
"Pon, buatkan susu coklat hangat." ucapku dan Pon mengangguk kemudian melangkah menuju kearah dapur.
"Kau tidak makan? Hanya minum susu?" tanyanya dengan mulut masih penuh.
"Tidak. Susu itu untuk anak kita." jawabku dan dia tampak mengangguk mengerti.
"Makanlah, jangan terus memandangiku. Kau membuat nafsu makanku berkurang." ucapnya lagi yang membuatku terkekeh. Maklum saja, dia memang sangat sensitive.

What is Mine, is MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang