What I Feel

9.9K 588 16
                                    

Seline pov
Setelah hampir satu jam, kurasa sudah saatnya aku kembali ke ruangan. Aku keluar dari cafetaria dan Dewi Fortuna sangat tidak berpihak padaku. Aku bertemu lagi dengan malaikat kematian yang selalu menginjak-nginjak harga diriku.

"Ms.Smith?" panggilnya dan katakan ini munafik, aku menundukka kepalaku untuk hormat padanya.
"Ada waktu?" tanyanya dengan senyum paksaku, aku menatapnya.
"Maaf Mr.Rusky, saya harus segera kembali bekerja." ucapku sesopan mungkin.
"Hanya sebentar." ucapnya dan aku mau tidak mau menganggukkan kepalaku.

Kami duduk di sudut cafetaria. Tidak memesan apapun dan hanya duduk.
"Langsung saja, Sir." ucapku to the point.
"Jauhi Edward." ucapnya tajam.
"Apa alasan aku harus menjauhi CEOku?" tanyaku menantang.
"Kalian berbeda. Apa kau tidak sadar?" tanyanya dan Hei! Dia menginjak harga diriku lagi.
"Aku tahu. Tapi kurasa itu tidak ada masalah dalam masalah pekerjaan." ucapku jujur dan...kenapa semua perkataannya selalu menyayat hatiku!

"Dan..bagaimana dengan pekerjaanku? Bukankah CEO dan sekretaris harus bekerja sama?" tanyaku dan Dia tersenyum penuh makna padaku.
"Kau bisa keluar dari perusahaan ini dan mencari..."
"Anda memecat..."
"Hanya aku yang berhak dalam hal memecat karyawanku" terdengar suara bariton yang sangat ku kenal.

"Kembali ke ruangan." ucap Edward kemudian menarikku berdiri dari kursi.
"Tapi..."
Belum sempat aku menyelesaikan perkataanku, Edward sudah menarikku keluar dari cafetaria dan aku bisa merasakan semua pasang mata kini menatap kearah kami berdua. Dan...

Jantungku...
Berdetak semakin cepat...
Aku menatap tangannya yang sedang menggenggam pergelangan tanganku.
Aku sadar...
Aku mencintainya. Aku tahu ini salah. Tapi bisakah kau mengakhiri sesuatu yang masih terasa indah walaupun kau tahu bahwa akhirnya akan menyakitkan?

"Selesaikan pekerjaanmu." ucap Edward setelah kami sudah memasuki ruangan. Aku tidak menjawabnya dan langsung melangkah menuju mejaku.

Marah? Apa aku pantas untuk marah?
Kenyataannya,
Aku dan Edward memang berbeda.

"Apa yang kau pikirkan?" sebuah suara bariton membuyarkan lamunanku.
"Jangan pikirkan apapun selain pekerjaanmu." sambung Edward dan aku hanya menghela nafasku kasar.
"Aku tahu." jawabku kemudian kembali menyibukkan diriku dengan komputerku. Memeriksa e-mail, pesan masuk, dll.

Edward pov
Aku tidak bisa menjauhkan lebih lama lagi tatapanku pada sekretarisku. Apa yang Dad katakan padanya? Ini kenapa aku benci mereka yang selalu mencampuri urusanku.

"Besok ada meeting?" tanyaku membuka pembicaraan. Bodoh? Ya. Aku tidak pernah bertanya tentang besok padanya.
"Belum." jawabnya singkat dan aku merasa kesal sendiri. Ada apa denganku?!

"Kenapa kau diam sekali?" baiklah, aku mengutuk diriku sendiri karena menanyakan pertanyaan yang tidak harus ku tanyakan.
"Tidak ada yang perlu dibicarakan." Jawabnya dan tatapannya masih setia pada komputernya.

Tidak ada yang memulai percakapan apapun setelah sekitar dua jam didalam ruangan ini. Aku yang tidak bisa fokus pada laptopku sedangkan sekretarisku yang sibuk mengetik pada komputernya.

Aku tidak tau kenapa, tapi aku mulai benci ketika sekretarisku menjadi diam seperti ini.
"Ed?" sebuah suara membuatku langsung merasa lega. Dia kembali berbicara setelah beberapa jam ini diam dan tidak bersuara.
"Hm?" gumamku seadanya.
"Berapa lama lagi kontrakku?" tanyanya yang membuat dahiku berkerut.
"Satu tahun." jawabku singkat dan ku lirik dia bangkit dari kursinya dan berjalan di hadapan mejaku.

"Ed?" panggilnya lagi dan seperti ada alarm berbunyi keras dalam otakku untuk menghentikan percakapan ini. Tapi aku tidak bisa, ada rasa penasaran didalam sana.
"Ada apa?" jawabku dan aku yakini suara ku terdengar sangat berat sekarang.
"Bi...bisakah kontrak itu dipercepat?" tanyanya gugup dan aku langsung merapatkan bibirku.

What is Mine, is MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang