Dirundung kelelahan deadline kerja di antara psikis yang memang kerap mencemaskan banyak hal, Jungkook melangkah gontai memasuki rumahnya yang sepi. Dia sempat berpikir Sera akan menunggunya pulang seperti yang biasa Jimin lakukan, makan malam bersama, ngobrol santai, setelahnya barulah mereka tidur.

Sekarang, Jungkook jadi merindukan kakaknya.

"Hyeong, apa kabar?" sapa Jungkook setelah menekan angka satu pada panggilan cepat, duduk merosot di depan pintu kamar Sera yang tertutup rapat.

"Jungkook, kau tidak apa-apa?"

Jungkook benci fakta perhatian Jimin membuat matanya berkaca-kaca, entah keberuntungan atau malah petaka. Kenapa Jimin harus sesayang itu kepadanya, padahal dia tidak memikirkan perasaan Jimin, memilih memenangkan egonya sendiri.

Tidak harus menjadi jenius menilai kelakar Jimin sebagai lelucon, meski Jungkook mati-matian menyangkal kenyataan itu. Sepupunya benar-benar menyukai Sera dengan kadar yang dirasa Jungkook jauh lebih banyak dari yang dia punya.

Jimin memilihkan rumah di tepi danau untuk Sera; asri, sejuk, dengan perabotan yang disusun hangat dan bersahabat. Menurut Jimin, rumah seperti itu mudah menyembuhkan.

Jimin membiarkan kucing kesayangannya tinggal di rumah danau, agar Sera tidak sendirian selama Jungkook bekerja. Jimin meluangkan waktu mengecek keberadaan Sera, saat pertama kali Sera diantar ke rumah danau. Jimin bersedia menggantikannya memilih cincin pernikahan, padahal pekerjaan Jimin juga sangat banyak.

Jika dilihat dari sudut pandang Jimin dan sosoknya menghilang, maka Park Jimin akan tampak sebagai seorang pria yang sangat menyayangi pasangannya. Meski Jungkook juga tahu, sejak kecil Jimin memang punya kadar perhatian berlebih untuk banyak orang. Tapi mau disangkal berkali-kali sekalipun, Jungkook ingin membuktikan sesuatu meski itu jelas menyakitinya.

Jungkook menengadahkan kepala agar air matanya tidak tumpah terlalu banyak, mendengarkan suara Jimin yang bertanya banyak hal di seberang. Jungkook benci sendirian, dia benci rumah yang terlampau senyap, sebab makhluk-makhluk gelap yang akan menghisap kebahagiaan terasa sedang merayap dari anak-anak tangga.

"Kenapa tidak pernah ke sini?" tanya Jungkook, dia sudah melepas jas dan melonggarkan dasi.

"Aku agak sibuk akhir-akhir ini," jawab Jimin. "Oh, Ibu membantu persiapan pernikahan, semua sudah nyaris—"

"Kau tidak ingin melihatnya?" sela Jungkook. "Kau tidak—merindukannya?" tukasnya, serak.

Ada jeda teramat sunyi di antara obrolan yang perlahan bagai diguyur hujan salju. Jungkook menghela napas yang perlahan sesak, membekap mulutnya agar Jimin tidak bisa mendeteksi kecemasannya. Percayalah, Jungkook selalu kesulitan mengelabui Jimin.

"Jungkook, kau tidak terapi?"

Sial—umpat Jungkook dalam hati, kenapa susah sekali mengelabui Jimin.

"Kau melupakan terapimu?—Jungkook!"

Jungkook melempar ponsel sampai terpental ke ujung selasar, sesak napas sambil memukuli lututnya. Sendirian. Tidak ada lagi sosok Jimin yang akan menenangkan kecemasannya, tidak ada siapa pun. Kehampaan yang mengepungnya kian menjadi-jadi, meski Jungkook telah mengingat kalimat-kalimat psikis dari dokter psikiaternya.

"Jungkook—!" 

Jungkook mengerjap, melihat sosok Jimin yang samar-samar mendekatinya, lalu membawanya pada satu senja keunguan di beranda belakang rumah.

"Hyeong, kalau nanti aku sudah besar dan tinggi, apa kau akan tetap menjadi kakakku?"

"Tentu saja." Jimin tertawa, memeluk Jungkook erat-erat. "Tidak ada bekas saudara. Aku akan menjadi kakakmu yang akan mengabulkan harapanmu. Apa pun itu, tanpa batas waktu."

Crimson AutumnWhere stories live. Discover now