Saat kami sedang bermesraan, tiba-tiba aku melihat si pembantu itu ada di sini. Bagaimana bisa coba? Dan pria yang ada di sampingnya itu bukan kah si Jonathan? Iya aku yakin itu Jo, dia teman satu kantorku di Dinas Tenaga Kerja.

Apa aku tidak salah melihat? Jo sedang menggandeng tangan Desember!

Mereka pacaran? Serius? Kok Jo mau sih sama perempuan seperti itu.

Maksudku, Jo itu lelaki yang bisa di katakan sama denganku. Dia tampan, mapan, dan terpelajar. Dan aku sangat tahu sekali, di luar sana banyak wanita yang mengincar nya.

Di kantor saja, para rekan kerja yang wanita sering melakukan pedekate dengan nya. Tapi dia selalu menjaga jarak, dan waktu itu aku pikir dia mungkin sudah punya kekasih. Saat itu aku penasaran, perempuan mana yang beruntung itu. Dan ternyata dia adalah Desember!

Yang benar saja Jo! Kayak nggak ada perempuan lain di muka bumi ini.

Apa sih yang menarik dari pembantu itu? Muka nya biasa saja, pendidikan terakhir SMA, kerja nya jadi babu di rumah aku, keluarga nya? Ah males banget bahas nya. Ya, paling cuma body nya sih lumayan. Tapi body cewek yang kayak gitu juga banyak di luar.

Aku yakin, pasti itu si pembantu yang genit-genit ke Jo. Dasar perempuan murahan!

Mataku menatap tajam ke arah Desember begitu dia melihat ke arah ku. Dia terkejut, lalu menundukkan kepala nya.

"Lang, kamu lagi lihat siapa sih?"

Aku menoleh dan tersenyum ke suara kekasihku yang cantik cantik itu.

"Ngelihat orang yang nggak penting sih sebenarnya," Jawabku.

"Hah? Nggak penting gimana?"

"Itu lihat deh sepasang kekasih yang baru masuk ke sini." Tunjuk ku.

Naomi melihat ke arah pintu masuk. "Memang nya kenapa? Kamu kenal mereka?"

Aku mengangguk sambil mengambil minuman yang baru saja di antar oleh pelayan tadi.

"Yang cowok itu nama nya Jonathan, dia satu kantor sama aku. Dan yang cewek nama nya Desember, dia pembantu di rumah aku."

"Pembantu?" Tanya nya kaget.

"Iya, bego kan cowok nya?"

"Bego apa nya?"

"Yah kok mau gitu dia sama cewek pembantu. Padahal banyak cewek yang lebih dari Desember bertebaran di luar."

"Hush! Nggak boleh gitu ngomong nya Lang. Kasar banget sih? Emang kenapa kalau dia pembantu? Kayak nya nggak dosa deh, dia kan butuh biaya hidup juga. Daripada di luar sana, banyak yang jual diri biar bisa dapat uang secara cepat. Aku sih lebih salut sama cewek yang kayak Desember."

Keningku mengernyit. "Salut dari segi mana sayang? Jadi pembantu? Apa sih yang bisa di banggakan? Geli banget aku dengar nya. Aku rasa tuh ya, si Desember udah pelet sih Jo maka nya bisa naksir sama dia."

Naomi tertawa sambil memukul bahuku. "Ih nggak boleh gitu Lang, jahat banget sih. Nanti kena karma loh. Kamu benci gini bisa jadi cinta mati sama dia."

Aku hampir terbatuk mendengar ucapan Naomi. "Amit-amit jabang bayi! Gila aja kalau aku cinta sama cewek kayak gitu. Aku suka nya sama cewek yang kayak kamu."

"Gombal banget sih pacar aku, bikin gemes deh." Kata nya sambil mencolek daguku.

Kami pun menikmati makanan yang tersedia di atas meja.

Sesekali aku melirik ke meja sepasang sejoli yang aneh itu. Si Jo tampak bahagia dan nggak tampak malu menggandeng Desember.

Tapi malam ini, si Desember agak beda ya. Dia berdandan kayak nya, bibir nya yang penuh diberi pewarna sedikit. Jadi tampak lebih.....

Ini aku bahas apa sih? Ngapain juga aku menilai penampilan si pembantu itu. Kurang kerjaan dan nggak penting banget.

Aku menggelengkan kepala sambil menyendokkan satu suapan nasi ke dalam mulut.

****

Mobil honda CRV hitamku berhenti tepat di depan rumah Naomi.

Dia melepaskan seat belt dari tubuh nya. "Hati-hati di jalan ya sayang," Ujarnya seraya mengecup bibir ku.

"Aku mau ngomong serius sama kamu."

"Apa?"

Aku mengeluarkan cincin emas dari dalam kantong celana Jeans ku. "Kita udah lama saling mengenal satu sama lain. Aku cinta kamu dan begitu juga sebalik nya. Banyak hal yang sudah kita lewati bersama. Bahkan kita pernah putus sampai akhirnya kita bertemu kembali dan menjalin hubungan lagi. Aku pikir itu adalah takdir, kalau kita berjodoh. Jadi aku mau melamar kamu malam ini. Aku mau mengajak kamu menikah Naomi."

Dia terdiam dan menatap ku sangat lama. "Kamu serius Lang? Kita masih umur 24 tahun, menurut aku itu muda banget untuk nikah."

"Iya aku serius. Kamu nggak mau nikah sama aku?"

Naomi mengusap wajah nya dan terlihat bingung saat ini.

"Aku mau nikah sama kamu, tapi nggak secepat ini. Aku masih mau ngejar impian aku Lang. Kamu tahu kan kalau aku masih ingin melanjutkan kuliah untuk jadi dokter spesialis? Aku ingin jadi dokter Obgyn dulu. Dan aku masih mau main dan bergaul sama teman-teman aku yang lain. Aku belum siap untuk nikah, masak aja aku nggak bisa. Aku belum cocok untuk jadi ibu rumah tangga."

Aku menarik wajah nya untuk menatap ke arah ku. "Kita memang nikah tapi bukan berarti aku ngelarang kamu untuk berkarir. Kamu boleh lanjutkan kuliah lagi. Kamu boleh bergaul sama teman-temam kamu, asal kamu tahu batasan waktu kapan untuk pulang ke rumah. Dan masalah soal kamu nggak bisa masak atau apapun itu, aku terima. Kita bisa cari pembantu sayang. Karena aku nikahin kamu itu untuk jadi istri aku, bukan untuk jadi pembantu di dapur."

Dia meneteskan air mata dan menggelengkan kepala nya. "Aku belum siap Langit, maaf."

Lamaran aku di tolak!

Dengan alasan belum siap? Belum siap apa nya? Secara umur aku yakin 24 tahun itu sudah matang dan cocok untuk menikah.

Aku juga udah kasih penjelasan, walaupun menikah dia masih bisa melanjutkan cita-cita nya menjadi dokter kandungan. Aku juga menerima kekurangan dia yang nggak pintar memasak. Terus di bagian mana lagi yang membuat dia nggak bisa nikah sama aku?

"Kamu punya cowok lain?"

"Cowok aku satu, cuma kamu Langit!"

"Kamu cinta nggak sih sama aku?"

"Aku cinta banget sama kamu, jangan ragukan itu," Ucap nya dengan penuh penekanan.

"Terus kenapa kamu nolak lamaran aku? Tindakan kamu itu udah ngelukai ego aku sebagai seorang pria. Dan itu sungguh membuatku kesal dan marah Naomi!"

"Aku minta maaf sayang, tolong jangan marah sama aku. Sumpah demi Tuhan, aku nolak karena aku takut untuk menjalin hubungan suami istri. Aku belum cocok untuk jadi seorang istri dan ibu. Aku harus belajar lagi untuk...."

Aku mengangkat tangan ku di hadapan nya untuk memotong ucapan nya. "Lebih baik kamu masuk deh ke dalam rumah. Aku rasa hubungan kita nggak bisa di lanjut lagi. Ternyata aku salah memilih kamu jadi calon istriku. Kayak nya aku harus cari perempuan lain yang mau di ajak untuk serius."

"Langit, kamu ngomong apa sih? Kita bisa bicarakan ini lagi, jangan langsung emosi gitu. Maaf sayang, please...." Ujar nya sambil memeluk tubuh ku dan mencoba untuk mencium bibirku. Tapi aku langsung mengelak, sehingga dia hanya mencium pipi ku saja.

"Turun Naomi, sebelum aku marah." Kataku pada nya.

Dia menangis dan segera keluar dari dalam mobil.

Bodoh amat!

Aku terlanjut sakit hati sama dia.

Alasan utama aku mengajak nya menikah adalah supaya kami berhenti melakukan perbuatan dosa di saat pacaran berdua.

Di ajak serius nggak mau, di jadiin lucu-lucuan marah.

Perempuan itu memang aneh dan susah di tebak jalan pemikiran nya.

4-November-2016

Hello, December!Where stories live. Discover now