"Bang, baksonya satu porsi, ya. Yang banyak sambalnya."

♪♪ Kini ku tahu, bila cinta tak bertumpu pada status...
Semua orang tahu bila kita sepasang kekasih,
Namun status tak menjamin cinta...

"Mas, Mas, ganti lagu dong, orang lagi galau dinyanyiin lagu kayak begitu," aku menatap pengamen di depanku ini dengan tatapan kesal. Sementara dia malah menatapku bingung.

"Jangan nyanyi lagu itu."

"Mau lagu apa, Dek? Wali, Setia Band, Ungu, Republik, atau apa?"

"Diam saja, ya. Gue kasih lima ribu,"

"Kalau diam saja dikasih lima ribu, nyanyi bisa dapat sepuluh ribu, dong."

♪♪Untuk apa..
Untuk apa cinta tanpa kejujuran.. untuk apa cinta tanpa perbuatan.. tak ada artinya...

"STOP! Ini nih, gue kasih sepuluh ribu! Sudah, pergi sono...," Pengamen jaman sekarang bikin darah tinggi.

"Ini, Neng. Silakan." Aku menerima semangkuk bakso dan mengucapkan terima kasih.

Setelah bakso yang pedas luar biasa itu habis, aku segera kembali masuk ke sekolah dan langsung ke kelas.

"Prill, dari mana lo? Ali tadi cari lo ke sini."

"Habis makan bakso di depan."

"Tapi nggak-"

"Nggak! Tenang saja, gue makannya normal kok, serius."

"Ya sudah, deh. Nggak bohong, kan?" Aku menggeleng, Vita ini selalu cerewet jika masalah kesehatanku. "Tapi kok, bibir lo merah begitu? Kayak kepedasan banget?"

"Enggak, kok. Ini tadi gue minum yang berwarna begitu, jadi merah. Sudah nggak usah curiga begitu, kenapa sih?"

"Iya, iya, gue percaya..."

•••

"Lo kenapa, sih?"

"Prilly?? Pssst." Aku mendongak menatap Vita sambil terus memegangi perutku. Asli. Sakit seperti ditusuk-tusuk, "jadi pulang bareng nggak, nih?"

"Ja-jadi..."

"Ya sudah ayo buruan," dia keluar dari kelas tanpa menunggu aku. Aku berdiri dan berjalan sambil memegangi perut. Duh, kepalaku pening.

"PRILLY!!! Buruan, ih. Mau hujan, nih."

Aku sedikit mempercepat jalanku. Tapi kok, mendadak jalannya ada banyak, ya? Ini pintu kelas yang benar yang mana? Kok ada banyak begini pintunya? Kiri apa kanan? Yang tengah ya? Aduh, kenapa aku jadi hilang arah begini.

Brak.

Duk.

"Pri- Astaga Prilly!!"

•••

Aku mengerjapkan mataku berkali-kali. Setelah terbuka aku menatap sekelilingku.

"Ma..."

"Sayang? Syukurlah kamu sudah sadar," aku tersenyum simpul. "Sebentar, minum dulu, ya?" Aku mengangguk lalu meneguk air yang diberi Mama.

"Ayah mana?"

"Ayah di rumah, sedang mengambil keperluan kamu."

"Prilly nggak mau dirawat, kita pulang saja..." Mama menggeleng.

"Nanti, ya. Kamu harus istirahat dulu, Sayang." Aku mengerucutkan bibir kesal.

Tok. Tok. Tok.

"Permisi, Tante." Aku melengos ketika dia masuk.

"Eh, Ali. Iya sudah, Prill. Mama keluar dulu, ya?" Aku mengangguk. Setelah Mama keluar, Ali mulai mendekat.

"Gimana? Senang banget ya, masuk rumah sakit?" Aku menoleh menatap dia yang juga sedang menatap aku tajam. "Kamu nggak bisa ya, jaga kesehatan kamu sendiri? Nggak bisa ya, nggak bikin orang khawatir? Nggak bisa ya, bikin aku nggak marah-marah terus sama kamu?"

"Aku tuh, lagi sakit. Kalau kamu cuma mau marah-marah sama aku mendingan kamu pergi."

"Itu salah kamu sendiri!" Katanya begitu kejam.

"Itu salah kamu! Kalau saja kamu nggak bikin aku kesal, nggak bentak aku di kantin, aku nggak-"

"TAPI KAMU NGGAK HARUS MENYAKITI DIRI KAMU! APALAGI INI MASALAH KESEHATAN KAMU!"

"Ak-" dia menekan pipiku kencang. 

"Jangan pernah, lakukan itu lagi. NGERTI?!" Dia melepaskan tangannya dari pipiku dengan kasar, aku mengangguk patuh seperti robot. Benar-benar tidak bisa berkutik kalau Ali sudah begini. Melawan juga tidak ada gunanya. Psikopat macam dia mempunyai banyak kalimat yang akan terus membalas ucapanku. "Dan aku nggak suka kamu selalu menjawab perkataanku!"

"Aku cuma nggak mau kamu kenapa-kenapa, aku akan sangat marah jika menyangkut kesehatan kamu. Aku nggak mau kehilangan lagi." Ucapnya begitu lirih, "aku mohon, jaga kesehatan kamu, Prill."

"I-iya..."

"Dan jaga hati kamu baik-baik," pipiku rasanya panas mendengar Ali bicara seperti itu. Jaga hati, katanya.
Drrrttt... drrttt...

Aku mengambil hand phone ku yang bergetar tanda ada pesan masuk. Saat membuka pesannya, mataku sontak tertuju pada Ali, menatap dia dengan tatapan nggak habis pikir.

Dia.... keterlaluan. Satu hal yang harus kalian ingat, bahwa psikopat tetaplah psikopat. Gila. Apa dia tidak memikirkan orang yang sedang mencari nafkah, bagaimana nanti keluarganya.

"APALAGI YANG KAMU LAKUKAN, HAH?! KAMU TUH JAHAT! KAMU BENAR-BENAR NGGAK PUNYA HATI!"

"APALAGI YANG KAMU LAKUKAN, HAH?! KAMU TUH JAHAT! KAMU BENAR-BENAR NGGAK PUNYA HATI!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••••
•Rabu, 26 Oktober 2016•
Susukan, Cirebon.

With love,
Rin.

Psychopath Boyfriend [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang