Bab 10: Makan malam yang canggung...

36.6K 2.2K 37
                                    


Suara gesekkan pisau yang memotong daging dan berbenturan dengan piring terdengar jelas dalam keheningan diantara kami berdua saat aku kembali duduk di tempatku. Kami berdua memutuskan untuk melanjutkan pembicaraan mengenai perjanjian setelah makanan utama. Namun keheningan ini menumbuhkan rasa canggung di sekitar kami berdua.

Tidak suka. Pasti siapa saja tidak akan pernah suka suasana canggung. Harus ada yang mencairkan suasana.

"Elle," ujarku was-was sambil mencoba melihat Zainal yang kini menghentikan kegiatan memotong dagingnya. Dia mengangkat wajahnya ke arahku. "Aku tidak suka panggilan Nora. Aku lebih suka dipanggil Elle."

Zainal terdiam menatapku seakan sedang berpikir, "Kenapa kamu mengakui namamu sendiri sebagai Nora jika kamu tidak menyukainya di hari pernikahanku?"

"Hmm... "Aku mengambil gelas airku dan meminumnya habis sebelum menjawab pertanyaannya, "improvisasi, kurasa."

"Leo."

"Ya?"

"Kenapa kakakmu memanggilmu Leo?"

"Kakakku?" Aku memiringkan kepalaku bingung siapa yang dimaksud sebagai kakak.

"Aryo. Dia kakakmu bukan?" ujarnya yang kembali memamakan makannya tanpa menatapku kali ini.

"Ah ya, Aryo. Kak Aryo, kakakku. Dia suka mempermainkanku." Aku memberikan senyuman palsu kembali sebelum kembali membicarakan lelaki mesum dan kurang kerjaan, "lagipula, dia mengambil nama Leo dari namaku Eleonora."

"Aku akan memanggilmu Nora," ucapnya datar masih tidak menatapku.

Sabar. Aku harus benar-benar sabar menghadapi lelaki seperti ini. Biarkan saja dia memanggil apapun selama dia mau membicarakan kerja samanya yang tidak masuk akal.

"Aku sudah selesai makan." Aku meletakan garp dan pisau di tempatnya. Kutatap sosoknya di depanku yang masih tenang.

"Masih ada makan penutup."

"Kita tidak bisa menunda untuk membicarakannya. Aku harus segera kembali. Kakakku menunggu," pintaku memberikan kebohongan kembali padanya.

Zainal menyandarkan dirinya pada sandaran kursi dan akhirnya memandangku yang duduk di depannya. Masih memandangku, tangannya mengangkat ke udara yanghasil menarik pelayan wanita masuk dalam lingkaran meja kami. Pelayan wanita keluar dan kembali membawa kepala pelayan yang langsung berbicang dengan Zainal, sedangkan pelayan wanita mengambil piring kosongku.

Zainal berhenti berbicara dengan kepala pelayan dan melirikku, "kamu menyukai wine saat berbincang?" Aku menganggukkan kepalaku. Jangankan wine, aku tidak keberatan dengan bir saat ini.

"Sebotol wine non-alcohol." Kepala pelayan dan pelayang wanita mengangguk dan pergi meninggalkan kami.

"Kenapa harus non-alcohol?" tanyaku, karena setahuku wine paling enak dinikmati akan rasa fragmentasi anggur yang menghasilkan alkohol pada cairannya.

"Karena aku harus menyetir mobilku sendiri untuk mengantarkanmu pulang."

Terserah. Aku tidak mau berdebat dengannya akan hal sepele, selama aku bisa meminta hakku sehingga dia tidak melecehkanku lebih dari ini.

Kuambil napas dalam dan panjang, lalu membuangnya secara berlahan melalui lubang hidungku. Hal yang biasa aku lakukan dulu saat mengikuti kelas yoga. Saat hidupku tak sekacau ini untuk bisa mengahabiskan uang yang begitu berharga bagiku saat ini. Kuberi senyuman tulus kepada pelayan yang menunangkan wine di gelasku dan menunggunya keluar. Kuambil kembali kertas lusuh dari tasku dan kutaruh di atas meja depanku yang kini kosong tanpa piring atau alat makan lainnya.

Wedding Breakers ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang