Bab 7: Perjanjian

29.3K 2.2K 56
                                    

Kedua mataku mengerjap beberapa kali, berharap bahwa lelaki di hadapanku ini adalah ilusi belaka. Namun sayangnya debaran yang aku rasakkan saat ini sangat nyata, apalagi tatapan tajam dari mata cokelatnya yang menawan terlihat begitu jelas.

"Bagaimana dia kemari?" pikirku yang melesat begitu saja melalui mulutku.

Lelaki di depanku, Zainal, memandangku dengan pandangan datar kali ini, "hah ... aku kemari dengan mobilku."

"Bego, aku tidak tanya dia naik apa," gumamku sambil mendesis kesal.

"Aku bisa mendengar ucapanmu."

"Maksudku, bagaimana kamu bisa ada di sini? KTP-ku bukan KTP Jakarta," tanyaku lagi sambil mengambil begitu saja KTP milikku yang ada di tangannya. Senyuman licik dan meremehkan tampak dari wajah tampannya. Astaga, fokus!

"Kamu melamar untuk majalahku, bukan?"

"Ba-bagaimana kamu bisa naik kemari? Seingatku ada satpam di bawah?"

"Seingatku tidak ada siapapun di bawah."

Brengsek. Si satpam gendut itu pasti lagi molor di pos jaganya. Tadi saat aku pulang saja, dia sudah terlihat mengantuk.

"Apa sudah selesai, sesi tanya jawabmu kepadaku?" Aku mendelik sambil membasahi kerongkonganku dengan ludahku sendiri yang kupaksa keluar dan kutelan.

"Ke-kenapa ka-mu kemari?"

"Untuk melakukan sesi tanya jawabku denganmu," jawabnya yang mendorong pintuku hingga terbuka lebar dan masuk ke dalam tanpa meminta izin kepadaku.

"Dasar tidak sopan! Kenapa kamu masuk ke tempatku begitu saja? Aku tidak memberimu izin," geramku.

"Aku tidak perlu izinmu. Bukankah kita pasangan kekasih yang sudah berhubungan selama satu tahun, Nora?"

Sialan. Orang ini dari tadi menyerangku dengan perkataanku sendiri beberapa waktu lalu.

"Tutup pintunya dan duduk di depanku dengan kursi plastik itu. Kamu tidak mau membuat tetanggamu bangun, bukan?" perintahnya sambil menunjuk kursi plastik berwarna hijau di dekat meja dapur.

Bagus sekali! Sekarang dia memerintahku bagai seorang majikan.

Aku menutup pintuku lalu mengambil kursi plastik yang dia tunjuk dengan tatapan mengawasi. Zainal duduk bersandar pada satu-satunya sofa yang ada, dengan melipat kedua tangannya di dada juga kakinya yang dia silangkan dan sampai mati pun aku tidak akan mau duduk di sebelahnya.

Aku duduk di depannya, lalu melakukan hal yang sama, melipat kedua tanganku ke bawah dadaku dan menyilangkan kedua kakiku ke depan. Dia memandangku dari bawah lalu ke atas seakan menilai tubuhku tanpa ekspresi.

"Ehem..." aku membersihkan tenggorokanku dengan keras untuk menarik perhatiannya, "cepat katakkan apa yang ingin kamu tanyakan, sehingga kamu datang pagi buta ke tempat orang tanpa tahu etika?"

"Bukankah itu harusnya pertanyaanku? Apa yang kamu lakukan bersembunyi di dalam lemariku pada malam hari tanpa tahu etika?"

Aku mengedipkan mataku beberapa kali untuk memikirkan jawabanku dengan secepatnya, "a-aku sud-ah men-jawabnya tadi. A-aku salah ruangan."

"Omong kosong! Katakan sejujurnya kenapa kamu ada di tempatku? Siapa kamu sebenarnya? Kenapa kamu datang lalu pergi menghancurkan pernikahanku dan mengaku mengenalku? Aku tidak pernah mengenalmu," tanyanya secara beruntun dengan cepat sambil mendelik ke arahku.

"Hais ... apa kamu gila? Bagaimana aku bisa menjawab pertanyaanmu yang tidak jelas itu? tanya yang benarr secara perlahan agar aku bisa menjawabnya!"

Wedding Breakers ✔Where stories live. Discover now