Kinar tercengang kaget. "Jangan... pernah... Ayah... lakuin itu... ke mereka." Desisnya menatap ayahya dengan tajam. "Aku muak dengan perintah Ayah. Aku muak dengan kehidupanku selama empat tahun ini. Setelah shalat aku selalu berdoa, semoga Ayah dibukakan pintu hatinya. Tapi doaku gak pernah dikabulkan. Sampai sekarang."

"Itu karena kau dan kakakmu itu adalah anak durhaka. Tidak pernah menuruti keinginan saya."

"Aku mau pergi. Aku gak mau disini. Aku benci tempat ini. Aku benci hidupku selama empat tahun ini. Aku benci semua perintah dan keinginan Ayah. Dan aku benci Ayah." Jerit Kinar yang langsung berjalan ke pintu.

"Jika kau melangkah hingga keluar dari rumah, aku tidak akan mengakuimu sebagai anakku." Ancam Pak Arjuna.

Kinar berbalik. Ia tertawa garing. "Aku gak pernah pengen punya ayah sejenis Anda. Dan aku rasa aku hanya punya seorang ibu dan kakak perempuan. Terima kasih untuk semuanya. Tapi aku muak dengan semua yang Anda berikan pada saya."

Lalu Kinar membuka pintu dan berjalan hingga keluar kawasan rumah ayahnya yang berada di Surabaya itu.

Bisa dilihatnya jika ada anak buah ayahnya yang berjalan mendekatinya.

"Aku hanya ingin ke coffee shop dekat sini saja. Bisa kau antarkan aku?" Tanya Kinar pada lelaki berjas hitam itu. "Aku butuh udara segar." Lalu Kinar masuk ke dalam mobil lelaki itu.

Lelaki itu awalnya diam. Tapi ia menurut saja. Ia masuk ke dalam mobil itu dan mengendarai menuju coffee shop dekat rumah ayahnya. Tidak lama, mobil pun langsung memasuki wilayah coffee shop itu.

"Aku mau kau tidak menungguku. Tidak menguntitku. Aku tidak akan kemana-mana. Nanti jika aku akan pulang, aku bisa naik taksi. Mengerti?" Kinar berbicara pada lelaki itu.

"Tapi, Nona An-"

Kinar langsung menyela. "Turuti saja perintahku sekali ini saja." Kinar langsung turun dari mobil dan berjalan dengan cepat ke dalam coffee shop.

------------------------------------------------------------------------------

Aric menghela napas dan mulai mendesah pelan. Ia tidak mendengar lagi ocehan mamanya.

"...Pokoknya mama mau kenalin kamu sama anaknya teman mama. Dia anaknya cantik lho. Pinter. Baru tamat dari Paris. Pokoknya sempurna deh." Mamanya mulai merekomendasikan seorang cewek untuk Aric, lagi.

Aric menghela napas lagi. "Mama..."

"Kamu itu aneh banget. Padahal kemaren mama udah kenalin kamu sama anaknya teman mama yang udah lama tinggal di Ausie, tapi kamu malah nolak dia. Kamu ini udah gak waras atau kamu... jangan-jangan..." Mama menatap Aric penuh selidik.

Aric terkejut. "Mama! Aku masih normal! Aku masih suka sama cewek! Cuma mereka bukan tipeku!"

"Bukan tipemu? Jadi yang gimana tipemu, Ric?" Tanya mama.

Aric terdiam. Vivid yang baru memasuki ruang makan langsung menyahut pertanyaan mamanya. "Yang baik. Yang setia. Yang mandiri. Pemikirannya dewasa."

Dan jawaban Vivid itu mengingatkan Aric pada...

"Iya nggak, Bang?" goda Vivid sambil mengedipkan sebelah matanya dengan jahil.

Dan kali ini, Aric setuju dengan jawaban Vivid. Ia menjawab dengan semangat.

"Mama harus cari dimana lagi yang kayak tipe kamu?" Tanya mama. "Kamu itu udah mapan. Udah lulus kuliah. Udah dapat kerjaan bagus. Kamu tinggal cari pendamping hidup. Mama kan pengen punya cucu."

Aric dan Vivid saling pandang. Lalu mereka ketawa.

"Ma, mama itu masih muda. Gak tua-tua amat. Ingat gak kemaren pas ke mal, ada ibu-ibu bilang kalo Bang Aric itu dikiranya adek mama." Celetuk Vivid yang masih ketawa.

RELATIONSHITWhere stories live. Discover now