Part 18#. Surat Aqsal Untuk Airi

Start from the beginning
                                    

Airi juga kayak menghindar gitu waktu Aqsal mau ngebahas kejadian barusan. Pun sampai sekarang. Saat semua anak Rohis sudah ada di panti asuhan dan masing-masing terbagi dalam kelompok yang diatur Vera, Airi kebagian tugas ngebagiin sembako bareng Dimas. Aqsal sudah berusaha berbicara pada Airi sampai Dimas memandangnya dengan dahi mengernyit sambil menerima kupon, jelas heran karena Airi nggak ngegubris Aqsal yang keliatan berusaha ngajak ngomong.

Airi sibuk berinteraksi dengan para penerima sembako. Kegiatan bakti sosial ini memang diadakan di panti asuhan. Namun banyak warga yang berdatangan untuk mengambil jatah sembako. Itu karena beberapa hari sebelum kegiatan ini dilaksanakan Aqsal menemui ketua RT setempat, membicarakan perihal kegiatan bakti sosial dan memberikan kupon yang sekarang digunakan untuk ditukar dengan sembako. Jadi nggak heran kenapa warga sekitar yang memang kurang mampu berdatangan.

Aqsal menghela napas, gemas sendiri rasanya. Ia memilih menahan diri dulu, setidaknya sampai kegiatan Baksos selesai. Nggak enak juga sama anak-anak lain yang sibuk kerja sementara Aqsal sibuk sendiri narik perhatian Airi. Aqsal meninggalkan Airi untuk mulai membantu Adiba membagikan baju-baju ataupun mainan hasil sumbangan.

***

8 hari kemudian

Sebelah alis Christ terangkat memandang teman sebangkunya yang—sepertinya—melamun. Sudah sejak kelas sepuluh Christ mengenal Aqsal, dan ini adalah yang pertama bagi Christ melihat Aqsal seperti itu. Duduk bertopang dagu sambil menatap kosong papan tulis dan mencoret asal buku tulis di depannya. Aqsal melakukan itu selama beberapa menit, lalu mendesah kesal. Melakukannya seperti kaset rusak sampai membuat Christ bosan sendiri melihatnya.

"Lo kenapa sih?" tanya Christ yang mulai tidak tahan.

Aqsal menoleh, dia menghembuskan napas dengan berat seolah ada banyak beban yang menimpa pundaknya. "Gue kesel karena nggak bisa fokus," cerita Aqsal.

"Mending lo sholat ato ngaji sana aja, deh. Biasanya jam kosong gini lo ke mushola, sholat dhuha ato baca Al Qur'an" suruh Christ, bukannya ngusir Cuma lama-lama risih juga ngeliat Aqsal kayak gitu.

Aqsal menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi.

"Malah bengong lagi," sindir Christ.

Aqsal beranjak berdiri. Dengan langkah lesu dia melangkah menuju daun pintu, melewati Adiba yang menyapanya dan berakhir terabaikan. Adiba menoleh ke belakang, mencoba mencari jawaban dari Christ. Tahu arti tatapan Adiba, Christ mengangkat bahu. Ia benar-benar tidak mengerti Aqsal kenapa.

Apa mungkin HB-nya turun lagi?

Atau mungkin karena lama nggak digodain Airi?

Christ cekikikan sendiri, opsi kedua Cuma khayalan ngaconya aja. Tapi si cewek sangklek itu apa kabar ya? Udah lama Christ nggak ngeliat batang idungnya. Padahal biasanya tiap ada Aqsal suka caper.

Tunggu....

Ah, kaco!

Jangan-jangan bener lagi Aqsal galau gara-gara Airi!

Christ bangkit berdiri, karena terlalu terburu-buru, kursi yang tadi dia duduki sampai jatuh ke lantai dan membuat sedikit kerusuhan. Anak-anak sekelas pada ngeliatin Christ, Christ Cuma nyengir. Dia nggak sempet ngebenerin kursi itu seperti semula, Christ langsung ngacir nyusul Aqsal.

***

"Van, gue minta kertasnya satu sama pinjem pulpen ya?" Aqsal mengambil selembar kertas hvs di dekat printer dan menyambar pulpen bertinta biru yang tergeletak di meja ruang OSIS.

Revanda yang sedang sibuk dengan laporan yang sedang ia kerjakan hanya mengangguk dan terus menekuri laptop di depannya. Aqsal merenggangkan punggung, dengan tangan kiri mengusap poninya yang masih basah ke belakang untuk menahan supaya tidak menghalangi pandangan, dia mulai menulis satu kalimat di lembaran putih itu.

Me And Ketua Rohis (√)Where stories live. Discover now