Aku tahu jika dia terluka dengan semua yang terjadi, sama seperti diriku. Tetapi aku bisa apa? Bastian yang menginginkan perpisahan ini karena dia tidak ingin menjadi penyebab rusaknya hubunganku dengan Ayah kandungku dan semua alasan yang membuat kami berdua sama-sama tersakiti.

Ditambah lagi dengan perlakuan Vero yang membuatnya malu di depan umum. Bodohnya aku yang tidak bisa tegas menghadapi Vero juga keinginan Ayahku waktu itu.

Ya sudahlah, semuanya sudah terjadi dan tidak mungkin bisa diulang kembali.

"Daddy, kok lama banget, sih?" tanya Ebas yang kembali merajuk.

"Sabar, My boy. Tadi kan udah Daddy bilang, kita harus antre," jawabku kembali membujuknya.

Bibir Ebas kembali memberengut. Anakku ini memang tidak sabaran. Aku tersenyum melihat tingkah lucunya yang menghentakkan kakinya dengan kesal seraya mencebikkan bibirnya yang imut.

Untung saja, Ebas tidak rewel berkepanjangan seperti tadi pagi, saat dia merengek meminta ikut denganku ke sini. Putraku ini termasuk anak yang cerdas meski mood-nya mudah berubah jika tidak sesuai dengan keinginannya. Maklum saja, dia masih tiga tahun dan wajar jika anak kecil bertingkah seperti itu.

Ebas sendiri termasuk anak yang peka dan mudah mengerti dengan hal apa pun termasuk jika aku sedang sedih, dia akan selalu datang memelukku dan berkata jika dia menyayangiku. Hal itulah yang membuatku tidak bisa jauh darinya dan begitu bahagia karena memilikinya setelah tiga tahun ini aku merasa hilang arah karena menghilangnya Bastian dari hidupku.

Setelah bersabar menunggu dan mendapatkan giliran membeli ice cream, aku dan Ebas mulai mencari tempat duduk yang berada di sepanjang Viaduct Harbour. Kubiarkan Ebas memakan ice cream-nya dengan lahap meski dengan bibir belepotan. Sejak usia dua tahun, kubiasakan Ebas untuk makan sendiri tanpa bantuan orang lain agar dia tidak menjadi anak yang manja.

Meski aku baru pertama kali memiliki anak, bukan berarti aku tidak bisa mendidiknya. Sejak Ebas ada dalam kandungan Vero, aku sudah belajar banyak hal tentang cara membesarkan anak sekaligus cara mendidiknya. Sejak Ebas lahir, aku juga tidak membiarkan dia terlalu dekat dengan nanny-nya. Dia lebih sering bersamaku hingga kedekatan kami terasa kuat sampai saat ini.

"Daddy, Ebas mau lihat kapal," ujar Ebas kemudian.

"Iya, tapi jangan jauh-jauh dari Daddy, ya!" jawabku memperingatkannya.

Ebas mengangguk lalu berjalan ke sisi pagar pembatas dan berpegangan pada jeruji besinya.

Saat aku sedang asik mengawasi Ebas, tiba-tiba saja ponselku berdering di dalam saku celanaku. Aku segera mengambilnya dan mengernyit saat membaca nama Abimana tertera di layar ponselku di jam segini. Aku yakin saat ini di Indonesia mungkin masih jam sembilan pagi.

"Ya, Bim. What's wrong?" tanyaku sambil tetap mengawasi Ebas yang kini mulai berjalan ke tempat lain, namun masih bisa kujangkau dengan penglihatanku.

"Di mana kamu sekarang?" tanyanya.

"Gua di Auckland. Lagi hunting tempat," jawabku.

"What? Auckland?!" tanyanya seperti orang kaget.

"Yeah, kenapa emang?" tanyaku balik.

"Oh, nggak apa-apa. Kok nggak ngabarin kalo udah berangkat ke sana?" tanyanya lagi.

"Sorry, bro! Gua lupa. Kemarin ribet ngurusin Ebas. Nyampe sini dia sempet sakit dua hari karena belum terbiasa sama udaranya, jadi gua nggak kepikiran buat ngabarin lu," jawabku.

SOULMATENơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ