Bab 9 (Menjelang Pernikahan)

5.8K 451 20
                                    

Acara lamaran resmi baru saja selesai dilaksanakan. Orang tua Kevin dan saudara yang ikut dalam lamaran itu terlihat masih nyaman berbincang dengan keluarga Jena. Sayang, keharmonisan antar keluarga itu tak menular pada Jena dan Kevin yang kini memilih duduk di lantai teras depan rumah hanya berdua. Jena masih menuduk menatap jari-jari kakinya dan Kevin masih sibuk dengan ponselnya.

"Heuhh..." Jena membuang napas panjang kemudian mendongakkan kepalanya menatap langit.

"Minum?" tanya Kevin yang kini menoleh ke arahnya.

"Nggak. Makan?"

"Tidak."

Jena hanya menganggukkan kepalanya saja mendengar balasan Kevin.

"Mas, apa pelaksanaan pernikahan kita nggak kecepetan?" Jena akhirnya menyampaikan isi hatinya yang sejak tadi mengganjal untuknya dan mengganggu konsentrasinya. "Dua bulan lagi..." gumam Jena sangat berat.

"Tidak."

Mendengar jawaban singkat dari Kevin membuat Jena memutar bola matanya. Rasanya ia ingin marah tapi tidak tahu ingin ia tunjukkan ke siapa. Jika ia ingin marah dengan Kevin, toh penentu tanggal pernikahan mereka juga bukan Kevin tapi keluarga kedua belah pihak. Dan jika ia ingin marah dengan Renata, rasanya tidak etis juga. Bagaimanapun juga, ia dulu sering menghayalkan akan menikah dengan pria kaya yang luar biasa tampan dengan keluarga yang hangat. Jadi, jika ia sekarang mengeluh dan menyalahkan orang lain, rasanya ia sangat pengecut dan tidak mensyukuri rezeki yang Tuhan gariskan untuknya.

"Terima kasih sudah menggunakan kalungnya."

Jena secara refleks menyentuh kalung yang Kevin pilihkan untuknya waktu itu dan ia secara sadar tidak menggunakan kalung pilihannya. Ia mengangguk. Entah mengapa hatinya menghangat saat Kevin malah mengucapkan terima kasih untuknya yang seharusnya ia ucapkan pada pria itu.

"Aku yang seharusnya mengucapkan terima kasih. Kalungnya sangat cantik dan luar biasa mahal. Juga, kebayanya sangat bagus." Jena yang kini mengenakan kebaya warna merah muda dengan rambut digelung, terlihat sangat puas dengan penampilannya. Jarik yang ia kenakan sebagai bawahan juga sangat serasi dengan kebaya yang ia kenakan.

"Mama suka."

"Ya. Mamanya Mas Kevin suka sama kalungnya dan pasti suka sama kebaya yang aku pakai, kan kebayanya mama Mas Kevin yang pilihin. Selera Mas dan mamanya Mas Kevin benar-benar luar biasa bagus."

"Kamu juga."

"Ya?"

Jena menoleh dan tatapannya bertemu dengan tatapan hangat Kevin yang selama ini sangat jarang ia lihat. Mungkin juga baru kali ini ia lihat.

"Mama juga suka sama kamu."

Suasana kembali sepi. Baik Jena atau Kevin kemudian diam dan melihat ke arah yang berlainan. Diam-diam mereka diawasi oleh beberapa anggota keluarga yang mengintip dari kaca jendela. Mereka bahkan ada yang dengan usilnya mengambil foto dan ada yang mem-video kebersamaan Jena dan Kevin yang canggung.

"Mereka kaku banget, sih!"

"Vin, tunjukkan keromantisanmu!"

"Mbak Jen bener-bener sok tenang."

Dan masih banyak bisik-bisik dari pihak keluarga kedua belah pihak. Ibu Kevin tersenyum dan terlihat sangat bahagia melihat anaknya yang kini ia lihat punggungnya saja. Kebahagiaan Dewi nyatanya tak sama dengan suasana hati ayah Jena. Ayahnya itu terlihat sedih menyaksikan anaknya yang kini tengah duduk berdua dengan pria yang nantinya akan mempersunting anak tertuanya itu. Bukan perasaan menyesal atau tidak suka dengan Kevin, ini perasaan naluriah di mana seorang ayah akan sangat berat melepas tanggung jawabnya.

His Wife 🔚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang