Dia bawel, seperti Erika. Aku curiga... jangan-jangan aku punya dua kakak perempuan? Cherry memang memperlakukanku seperti adik kecil, well... usia kami terpaut lima tahun.

"Aku percaya kalau dua orang yang saling menyukai ditakdirkan bersama, maka mereka akan bertemu lagi." Kujawab setenang mungkin meski dalam hati aku skeptis. Terkadang aku memandangi nama Sraylira di ponsel, otakku berpikir untuk menelepon atau mengirim pesan tetapi logikaku memuntahkan pernyataan kalau ke-GR-anku tentang perasaan Sraylira hanyalah GR semata. Buktinya, tiga bulan semenjak terakhir bertukar kabar, dia tidak menghubungiku. Ketakutan - keraguan - atau tak tahu harus apa menggerogoti diri dan akhirnya aku tak melakukan apa pun. Satu hal yang aku sadari, tidak bertemu - tidak bertukar pesan ternyata tidak menghilangkan perasaanku padanya. Move on tidak semudah itu.

Cherry menggelengkan kepala, dia pasti ingin bilang kalau aku bodoh sekali memercayai 'pertemuan kembali' dan 'takdir'. Mungkin, aku sedang menguji seberapa dalam aku menyukai seorang wanita.

"Dilly, aku salut pada prinsipmu tentang takdir dan pertemuan kembali. Namun, wanita butuh kepastian. Kau sudah menyatakan perasaan?" Pertanyaan Cherry menyentak.

"Kurasa dia juga sepertimu, percaya pada takdir dan pertemuan kembali. Saranku, jujurlah dan mintalah ia menunggu sampai kau sanggup menjemputnya ke masa depan. Mungkin, dia juga menanti pergerakanmu, mengawasi perasaan selama kalian berpisah dan tanpa komunikasi."

Cherry menepuk pundakku, berbisik semoga aku berhasil.

****

Menyatakan cinta tak semudah menyelesaikan naskah. Aku yang skeptis dalam menyelesaikan naskah ternyata bisa melakukannya tapi urusanku dan Sraylira tidak ada kemajuan. Aku dan dia tidak ada yang memulai percakapan, bahkan di media sosial pun begitu. Sesekali aku memberi jempol atau suka pada status dan fotonya, tetapi dia tidak seperti itu padaku. Aku bertanya-tanya, apa di tempat yang berjarak ribuan mil itu dia menemukan seseorang yang ia sukai? Bagaimana kalau mereka memutuskan menikah setelah pulang ke tanah air? Bagaimana kalau ia menetap di sana? Spekulasi membuatku tak tenang dan cara melarikan diri dari pertanyaan-pertanyaan itu adalah fokus bekerja pada naskah.

Oh ya, saat ini aku bekerja paruh waktu sebagai ojek online, sementara Erika menerima tawaran menjadi desainer di perusahaan kenalannya. Pak Yoe dan Joe sibuk mengurus perternakan dan Cherry... dia sudah melangsungkan pernikahan dan mendaftar sebagai mahasiswi pascasarjana. Beberapa penulis masih mengontak dan menawarkan naskah, bahkan Tery menyarankan agar penerbit X membangun sebuah penerbit online, menerbitkan naskah via online - digital seperti playstore. Para pembaca pun tetap membanjiri laman sosial penerbit X, suatu tanda bahwa penerbit X diterima di masyarakat. Tapi, Erika masih di tahap menenangkan diri dari kegagalan, dia belum mau memikirkan penerbit X -kedua.

Kemudian, tahun berganti.

Aku menghadiri malam penghargaan sayembara novel dewan sastra di sebuah balai besar. Semua penulis yang mengirimkan karya diundang ke acara tersebut. Aku bertemu Tery yang ternyata menjadi salah satu juri. Selain itu, nama-nama besar di dunia sastra dan kepenulisan memenuhi deret kursi. Ini surga sastra, salah satu sudut di hatiku berharap Sraylira bisa hadir di sini, setidaknya sebagai penulis yang nekat mencemplungkan diri ke sarang sastrawan dan kritikus sastra (juri).

Pembawa acara membimbing, hingga pada acara puncak, pengumuman nama pemenang. Satu hal yang tak pernah kuduga adalah namaku masuk sebagai pemenang favorit dan berhak menerima hadiah naskah diterbitkan serta uang tunai -yang aku rahasiakan jumlahnya. Tak ada nama Sraylira di daftar pemenang, aku sendiri tak tahu apakah ia ikut sayembara atau tidak. Beberapa pemenang ternyata orang lama, yang hebat... pemenang pertamanya adalah anak baru, seorang cowok yang mungkin masih S1 -dari tampilan, dia menawan dan cocok berperan sebagai protagonis drama Korea.

Sebelum tidur, aku memandangi sertifikat penghargaan dari dewan sastra. Diriku sedikit besar kepala karena novel pertama yang kuselesaikan memenangkan penghargaan. Dan, kebahagiaanku bertambah sewaktu sebuah pesan masuk, pengirimnya Sraylira Melati.

[Dilly, selamat naskahmu menjadi favorit di sayembara novel dewan sastra! Kalau sudah terbit kasih tahu ya.]

Entah kekuatan dari mana, aku menekan tombol telepon, tanganku gemetaran tapi suaranya sudah terdengar, segar. Oh, di sana sudah pagi. "Ya?" suaranya mengalun, aku kehilangan kata-kata. Sial! Apa sebenarnya maksudku menelepon? Tiba-tiba menelepon... rasanya sangat canggung.

"Terima kasih ucapannya. Oh, apa kabar, Sraylira?" aku berbasa-basi sementara dia hanya merespons seadanya, sesingkat mungkin seolah ingin segera menyudahi percakapan. Apa dia sedang buru-buru? Di dalam kelas, kah?

"Ah, temanku sedang ke sini..."

Sesuatu di dalam hatiku terasa remuk, otakku menyelidiki apakah yang ia maksud teman adalah laki-laki? Calon kekasih?

"Aku menyukaimu."

Kalimat itu mengalir, hal yang aku simpan selama ini.

"Aku tahu." Balasan Sraylira membekukan duniaku. Apa? Dia mengerti kan kalau aku sedang menyatakan perasaan? Mengapa jawabannya malah begitu? Ada pertanyaan tersirat dalam pengakuanku!

Ah, apa yang harus aku balas?

"Aku tahu kau tahu."

Sial!

Telepon terputus dan aku tak bisa tidur. Apa maksudnya? Karena dia tahu perasaanku lalu apa? Dia... benar-benar teka-teki untukku.

Tapi, aku menyukainya.

Dunia Kepenulisan II [TAMAT]Where stories live. Discover now