Chapter VI.A

100 15 2
                                    

"Kau masih update blog?"

Anis menerobos masuk ke kamarku. Untung saja aku tengah membaca buku, bukan sedang berganti pakaian. Seharusnya aku menempelkan peringatan untuk 'mengetuk pintu sebelum masuk' di pintu kamar. Segera setelah kami berbaikan, dia kembali ke kebiasaannya. Dia bilang kangen untuk mengobrak-abrik kamar dan kehidupan pribadiku. Sesungguhnya, aku lebih suka dia yang tak mengusikku.

Aku meletakkan Faster Than A Kiss yang tengah kubaca dan menoleh malas padanya yang sekarang berpose di depan cermin bak seorang peragawati. "Kenapa kau bertanya soal blog?"

Gadis ramping itu merebahkan diri di kasur sambil membolak-balik Faster Than A Kiss yang menumpuk. "Aku ingin blogmu jadi peserta blog tour untuk giveaway dan review Forbidden Kiss. Lalu, saat aku tanya Dilly... dia bilang blogmu tak update sejak tahun lalu."

Cih. Ternyata Dilly diam-diam kepo.

"Kapan blog tour berlangsung? Minggu depan aku berangkat untuk festival." Aku meraih kalendar di meja belajar dan menyodorkannya ke Anis. Anis mengeluarkan sebuah pena tinta merah dan menunjuk ke suatu tanggal, "Sekitar ini... bisa?"

Aku mengangguk dan Anis menandai kalendar. "Oh ya, aku akan mengejar Dyan lagi."

Ehm, baru beberapa waktu lalu dia ditolak Dilly dan sekarang sudah move on. Apa tidak begitu cepat, ya? Apa perasaannya terhadap Dilly cuma sebatas itu? Apa dia tidak mau memperjuangkan cinta meski ditolak?

"Dyan ke Tokyo juga, kan? Ah, aku iri! Jika saja tiket festival penulis untuk aku. Aku kan juga penulis!" Anis mulai memasang tampang manyun menyebalkan. Jika dia dalam mode ini, aku harus bersiap diguncang-guncangkannya. Sebentar lagi kata-kata keluhan akan meluncur drastis dan telingaku yang sudah terbiasa harus siap sedia. "Aku tidak punya cukup uang untuk ke Tokyo padahal Kakakku juga ikut. Saat aku merengek, dia malah marah-marah dan bertanya apa ada oleh-oleh yang kuinginkan. Lalu, tatkala aku bilang aku ingin Dyan, dia tambah marah dan bilang aku ini pemimpi besar. Huwaaah, Kakakku sangat menyebalkan!"

Sebentar. Apa kakak Anis seorang penulis? Seingatku, kakak Anis adalah seorang pegawai di sebuah kantor. Aku juga tak pernah bertemu secara langsung jadi aku tidak mengenal kakak satu-satunya Anis. Aku bahkan lupa kalau Anis adalah anak bungsu, dia punya seorang kakak laki-laki yang katanya menyebalkan padahal dia juga menyebalkan.

"Kakakmu penulis?" aku melontar tanya sembari merapikan Faster Than A Kiss yang tertindih Anis. Aku tidak rela buku-bukuku rusak meski hanya sedikit.

Anis memonyongkan bibir, "Bukan. Dia manajer seorang penulis. Saat aku kepo siapa penulis yang dimanajerinya, dia tidak mau kasih tahu. Katanya aku bakal berisik jika tahu."

Manajer seorang penulis. Aku merasa de ja vu. Seorang lelaki dengan penampilan begitu rapi disertai bau vanilla menyengat tiba-tiba muncul di benakku. Lelaki tersebut selalu memegang tablet PC di tangan. Dengan suara datar yang terkesan ketus dia berbicara dan kadang-kadang disertai tatapan mengusir nan benci.

"Nama kakakmu... Luniel?"

Kerlingan mata Anis membuatku cepat menarik kesimpulan. Ternyata, memang benar kalau pertemuan seseorang dengan seseorang memiliki suatu ikatan kasat mata dan tujuan tertentu.

"Mela!!!" kali ini suara yang sudah lama tak terdengar mendadak memenuhi ruang kecil yang kusebut istana. Gadis yang selalu berpenampilan angkuh di atas panggung tapi menjadi gadis penakut saat bersamaku muncul tepat di pintu masuk kamar. "Luniel memaksa saya... saya harus menyelesaikan satu naskah sebelum ke Tokyo. Sa-sa-ya stress."

Aku benar-benar harus memasang peringatan di muka pintu. Dua orang yang sekarang menyesaki kamarku selalu seenaknya saja menerobos masuk. Mereka kira kamarku adalah kamar mereka? Oh ya, ini pertama kali Anis dan Tery bertemu.

Dunia Kepenulisan II [TAMAT]Where stories live. Discover now