Chapter I.A

453 22 12
                                    

-SRAYLIRA MELATI-

Apa kau pernah melihat awan gelap mengelilingi seseorang?

Aku melihatnya sekarang, tepat di hadapanku. Awan-awan hitam nan gelap pekat itu mengitari tubuh kecil yang terlihat semakin kurus tersebut. Ini pertama kali aku melihat kegelapan mencengkeramnya dan pertama kali juga aku merasa tak enak hati karena aku sudah bisa menebak apa yang mengenainya, yang aku pernah alami berkali-kali dalam kurun waktu hampir delapan tahun ini.

Penolakan naskah. Sekali lihat saja, orang expert yang sudah fasih dengan penolakan naskah sepertiku pasti bisa menangkap awan-awan kekecewaan itu. Aku menunggu dengan penuh kesabaran sembari meminum teh hijau hangat yang dihidangkan pelayan. Anis masih dalam mode meratapi kekecewaan, dan hingga ia mengucapkan sebuah kata aku akan duduk diam menantinya kembali ke diri semula. Ia harus menang melawan awan-awan hitam, dia harus keluar dari kurungan awan-awan tersebut. Dan jika berhasil, ia sukses dalam mengendalikan kekecewaan dan bisa bersiap untuk pertempuran yang baru.

Sekitar satu jam yang lalu Anis mengirimiku pesan singkat, [Kafe A sekarang.] yang membuatku bergegas ke sini setelah jam pulang tiba. Ketika aku tiba di sini Anis telah duduk dan secangkir teh melati telah tersedia di hadapannya. Teh yang seharusnya hangat itu –dan biasanya masih mengeluarkan asap ketika dihidangkan- sekarang sudah kehilangan kehangatan, tak ada tanda-tanda Anis menyentuhnya sedikit pun. Teh melati seakan-akan hanya pajangan yang bersiap menerima segala curahan hati Anis.

"Sea jahat sekali."Anis menatapku pelan dengan mata yang menghitam, awan-awan kegelapan yang mengerumun bukannya menjauh malah semakin mendekat dan bertambah banyak.

"Apa katanya?" tanyaku cepat. Anis menghela napas panjang, "Dia bilang naskahku ditolak karena terkesan buru-buru dan asal jadi."

Oh, harusnya dia membiarkan aku jadi pembaca pertama agar aku bisa memberikan kritik dan saran. Aku tahu Anis tak akan menerima kekalahan dengan lapang dada –setidaknya butuh waktu lama-.

Sembari menikmati sensasi manis yang ada pada teh hijau, aku melirik Anis. "Menurutmu apa yang membuat naskahmu ditolak? Sudah berapa kali kau membaca naskah itu?"

"Sekali. Aku hanya membaca sembari menulis." Dengan gerakan tangan yang lemah tak berdaya Anis memegang cangkir teh dan menggosok-gosok, "Apa mungkin karena ideku mainstream? Atau karena terlalu luar biasa?"

Sebenarnya mainstream dan terlalu luar biasa adalah hal yang bertentangan.

"Memangnya naskah terbarumu tentang apa?"

"Aku menulis soal seorang cewek yang dikutuk di hari pernikahannya. Jika ia dan suaminya berciuman maka kutukannya akan aktif. Kutukannya adalah sang cewek menjadi benci dengan suaminya."

Oh, genre romantis dan fantasi? Cukup menarik untukku.

"Ceritanya terlihat cukup menarik. Ide yang bagus. Tapi, kusarankan kau untuk mengendapkan naskah sekitar sebulan atau dua bulan, lalu kau baca lagi. Pasti deh, akan ada revisi yang kau lakukan," jelasku.

Anis menangkap kata-kataku dan mulutnya manyun, "Sebulan dua bulan? Lama amat! Aku akan baca sekarang dan merevisi sekarang juga."

"Kalau kau membacanya sekarang, kau akan bersikap sebagai penulis bukan sebagai pembaca atau editor. Kau harus memposisikan diri sebagai pembaca yang sama sekali tak tahu apa pun. Sebulan dua bulan itu kau akan mulai melupakan detail-detail naskah. Lalu ketika kau membaca ulang, kau mungkin akan menemukan kesalahan plot atau karakter yang tumpang tindih, EYD, dan sebagainya. Pikiranmu yang segar akan membantu mengoreksi naskah dan menemukan kesalahan."

"Lalu, aku dan Dyan kapan dekatnya dong? Masa' menunggu selama itu. Lagipula, belum tentu setelah itu naskahku bakal diterima. Terus, gimana kalau aku mati sebelum naskahku sempat kurevisi? Aku dan Dyan tak pernah menjadi dekat!"

Apa hanya Dyan alasannya menulis? Ya, apa pun alasannya terserah.

"Sekarang kutanya, lebih penting naskah yang baik dan kemungkinan besar diterima atau naskah yang buruk?"

"Ya, naskah yang baiklah."

"Kemudian sebulan dua bulan ini perbanyak baca buku dan latihan menulis."

"Terus Dyan-nya?"

"Baca novel Dyan. Dia tipe penulis yang suka berinteraksi dengan pembacanya kok."

Tanpa kuduga Anis berdiri dan meraih tanganku, menggenggamnya dengan erat. Kulihat binar-binar keluar dari bola mata yang besar, rambut pendeknya berterbangan ke udara seperti tertiup angin padahal kami berada di dalam ruangan yang tak ada angin. "Kau jenius, Mela! Aku sudah membaca novel Dyan, tapi tak pernah terpikir untuk membahas novelnya bersama. Yo! Ini cara pedekate yang keren."

Oh, benar-benar mudah berubah pikiran nih anak.

"Anis, kau bisa ikut forum penulis agar bisa berbagi pengalaman dan pelajaran dalam dunia penulisan. Kalau tidak salah, Dyan ikut forum penulis dan menjadi ketuanya. Aku juga ikut bergabung."

"Apa? Forum Lingkar Pena?"

"Bukan, Forum Penulis Indonesia. Cari saja di internet."

Anis menarik tanganku dan melepaskan sebuah pelukan, "Terima kasih, Mela! Cinta memang pasti menemukan jalannya!"



Dunia Kepenulisan II [TAMAT]Where stories live. Discover now