Chapter VII.B

96 18 0
                                    

-Dilly Prawira-


"Si-silahkan pulang, saya masih bersikukuh berhenti menjadi penulis." Suara lemah Tery terdengar dari speaker yang tertanam di interkom. Setelah berkata seperti itu, entah berapa kali aku dan Sraylira menekan bel atau berteriak memanggil, tak ada respons apa pun. Tery benar-benar mengusir kami.

"Benar-benar gadis yang merepotkan,"

Tatkala menoleh, pria berbau vanilla dengan setelan jas sedang berdecak. Tangan kurus itu menyentuh interkom. "Jika kamu masih mengunci diri di dalam, aku akan menelepon polisi untuk mendobrak." Luniel mengancam meski air mukanya begitu datar. Aku tak yakin ancaman itu akan diacuhkan Tery.

Ajaibnya, gerbang mendadak terbuka otomatis. Ternyata, ancaman yang pasti bohong itu menggoyahkan hati seorang Tery.

Aku, Sraylira, dan faktor utama di balik tindakan Tery melangkah hingga pintu masuk. Tery mengintip dari celah pintu yang terbuka, tubuhnya terbenam, hanya muka pucatnya yang tampak jelas. "Ke-kenapa ke sini? Saya tidak mau berbicara apa pun denganmu. Sana!" kata-katanya jelas tertuju untuk Luniel, tapi matanya ke arah lantai teras.

"Maaf," Sraylira menyela. Gadis mungil itu menyodorkan poster dan kartu memori. "Tolong, dibaca dan ditonton. Para pembaca berharap kamu kembali."

"Tapi," Tery menatap mata Sraylira, dia ragu untuk menerima hadiah tersebut. Keraguan itu bukti kalau dia masih ada perasaan ingin kembali menjadi penulis.

Beberapa detik berlalu, dua gadis tersebut hanya geming. Luniel memecah kesunyian dengan mendorong pintu hingga Tery mundur beberapa langkah karena terkejut. Dengan cepat, poster dan kartu memori berpindah dari Sraylira ke tangan kurusnya. Mata tajam sinisnya bertemu dengan mata takut Tery.

"Kamu tidak pandai berbohong." Luniel mendekat, Tery memaksa dirinya menjaga jarak tapi dia tersudut. Aku dan Sraylira hanya bisa jadi penonton, bingung. Mungkin sebaiknya mereka berdua berbicara dan menyelesaikan masalah.

Tery melempar pandang ke arah Sraylira, tatapannya bak kucing yang memelas. Sraylira malah menoleh kepadaku, meminta bantuan. Sayangnya, menurutku skenario terbaik adalah membiarkan Luniel dan Tery. Meski, Tery memang butuh diselamatkan.

"Aku ingin memonopolimu."

Serentak pandangan tersorot ke Luniel, ada gurat gelisah tersirat di pipi tirusnya. Laki-laki vanilla itu menarik napas, "Awalnya aku melihatmu dengan rasa cemburu. Kamu punya bakat dan kehebatan yang tidak pernah bisa kumiliki seberapa pun aku berusaha. Tapi, rasa itu berubah lagi menjadi rasa serakah. Kamu adalah ladang uang." Sudut bibir kanan Luniel menaik begitu jua alis kanannya. Kini, sosok itu bak tokoh antagonis yang selalu menyiksa sang protagonis.

"Maaf, aku sudah memperlakukanmu untuk kepentingan pribadiku." Luniel menunduk dalam, penuh penyesalan.

"Ta-tahu apa kamu soal bakat dan kehebatan?" Tery mendongak, mata-mata sang mantan manajer dan mantan penulis itu bertemu. "Saya pun pernah merasa tidak berbakat dan hebat. Ketika kecil, Ibu tidak pernah memuji atau berkomentar tentang tulisan saya. Hal itu membuat saya berpikir, saya ternyata tidak punya bakat bahkan untuk membuatnya berkata, 'Kamu masih kecil sudah bisa membuat ini,' atau 'Sepertinya bakat Ibu menurun ke kamu,'"

Gadis berkaos merah itu lantas menunduk, dia memandangi lantai sembari terus mengeluh. "Seperti apa pun hasil yang saya raih, setelah bertahun-tahun. Nyatanya, tidak berarti sama sekali bagi Ibu. Bakat dan kehebatan yang kamu maksud tidak membuat saya bahagia."

"Kamu bahagia ketika mendapat ide, menulis, lalu menyelesaikannya," Luniel menyela. Si jangkung itu membentangkan poster di hadapan Tery, memintanya memerhatikan baik-baik, menelusuri kata per kata serta menghitung berapa banyak dukungan di sana.

Pelan-pelan, Tery mendekat, menyentuh poster yang berisi dukungan untuknya.

Sraylira mulai mengecilkan langkah, berada di dekat Tery. "Kurasa, Nyonya Arasa bangga denganmu. Hanya saja, karena dia merasa bersalah telah mengabaikanmu jadi... ada kesulitan untuk menyampaikan perasaan. Tak ada orang tua yang tidak bangga dengan anaknya apalagi ketika ia tahu dialah inspirasi dan alasan terbesarmu ada di dunia menulis."

Kata-kata lembut itu bak sihir hingga Tery tercengang. Gadis itu tersenyum simpul dan meraih tubuh Sraylira yang lebih kecil ke dalam dekapan. Dan anehnya, ada api mencuat di dalam hatiku padahal Sraylira dipeluk oleh perempuan, perempuan yang difavoritkan tulisannya oleh Sraylira, tidak ada unsur apa pun kecuali persahabatan.

"Saya berdusta, saya tidak mau berhenti menulis..." air mata mulai muncul, mengalir begitu saja ke pipi Tery. "Ya, kami semua juga tidak mau kau berhenti," Sraylira membalas pelan.

****

Nyaris tiga puluh menit semenjak meninggalkan kediaman Tery. Luniel pulang dengan kereta cepat yang berlawanan arah dengan bis yang ditumpangi olehku dan Sraylira. Aku yang terjebak di bis bersama Sraylira tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Gadis yang duduk di samping kiriku itu tampak lelah, setelah seharian pergi di luar padahal besok sudah harus berangkat ke Tokyo.

Saat aku melirik, matanya mulai berat, dia pasti benar-benar ingin tidur sekarang. Pemandangan di luar jendela yang gelap menandakan waktu malam sudah tiba, masanya untuk beristirahat dari penatnya aktivitas. Tapi, gadis mungil itu mati-matian menepis rasa kantuk, berkali-kali dia membelalakkan mata, mencoba mengusir keinginan tidur.

Aku harus melakukan sesuatu agar dia lupa dari kantuk.

"Aku mulai menulis lagi," kupecahkan kesunyian meski musik klasik mengalun dari mp3 player yang dipasang supir bis. Baru kali ini aku dihibur oleh denting-denting piano Mozart serta Beethoven di perjalanan. Mungkin, musik itulah yang jadi faktor pendorong Sraylira ingin tidur.

Gadis itu menguap anggun, menutup mulut lalu memberi senyum tipis. Air mukanya seperti menunggu kelanjutan kata-kataku. Tapi, dia menghilangkan semua kalimat yang seharusnya keluar dari mulutku. "Dilly?" suaranya menyentak.

Aku berdeham, "Drama misteri keluarga, baru setengah yang kutulis." Mataku sejenak beralih ke luar jendela, diam-diam mengamati wajah gadis yang terpantul. Dia tak membalas kata-kataku selain diam. Aku jadi tak tahu harus apa saat ini.

"Katakan sesuatu," suaraku memohon. Alis Sraylira sedikit menaik, terkejut dengan reaksi kekanak-kanakanku. "Apa? Kau ingin aku bilang apa?" dia membalas cuek.

"Kau bisa bilang, 'aku ingin jadi pembaca pertamamu' atau 'aku menunggu karyamu'"

Sekali lagi gadis itu hanya memandangku hambar. Sedetik kemudian dia tertawa, lesung pipi tampak jelas, membuatnya semakin menarik. "Percaya diri sekali, jika kau ingin aku membacanya bilang saja terus terang."

Aku bertaruh, pasti mukaku penuh rona merah sekarang. "Kalau tak mau, ya sudah." Aku melempar muka, berusaha menenangkan diri. Gadis itu menyahut lembut, "Aku akan baca."

Belum sempat aku membalas, dia berdiri dari duduk dan menuju pintu keluar bis.


Dunia Kepenulisan II [TAMAT]Where stories live. Discover now