Chapter VII.A

124 17 0
                                    


-Sraylira Melati-

Terima kasih untuk semua yang sudah memberi dukungan. Tapi, saya berpikir Ketika Dua Angsa Bermain adalah karya terakhir. Sekali lagi, terima kasih -Tery-.

Aku menutup ponsel flip-flop dan menghela napas. Tery sudah menulis di berbagai sosial media pribadinya kalau dia berhenti menulis. Sudah tentu terjadi kehebohan di dunia maya. Para penggemar dan pemerhati penulis langsung berkomentar, rata-rata menanyakan alasan dan meminta Tery untuk berpikir ulang. Aku juga menghubungi via ponsel ke surel pribadinya tapi, dia tidak merespons.

Saat aku datang ke kantor hari ini pun, Nona Erika uring-uringan karena Tery mengirim surat permohonan maaf sekaligus mengabarkan kemunduran dirinya di dunia novel. Seketika saja, Nona Erika mengadakan rapat redaksi darurat lalu meminta Dilly -sebagai penanggung jawab festival penulis- untuk membujuk Tery.

Beberapa hari lalu aku bertemu Luniel. Laki-laki itu sibuk berkunjung ke berbagai penerbit untuk meyakinkan kalau Tery hanya emosi sesaat. Dia sampai membungkuk-bungkuk pada Nona Erika dan Cherry agar proyek novel Tery selanjutnya tidak dibatalkan -hanya diundur deadlinenya-. Mungkin, Luniellah orang yang paling terpukul gara-gara tindakan Tery dan dia jualah faktor utama tindakan tersebut. Dia harus menuai apa yang ia tabur.

Tapi, sebagai seorang penggemar dan juga teman Tery. Aku ingin melakukan sesuatu, aku tak ingin seseorang dengan bakat dan kecintaan yang teramat sangat pada dunia novel -apalagi genrenya aku banget- berhenti begitu saja. Pasti, masih ada rasa suka yang besar di hati Tery pada novel. Aku juga yakin ada banyak ide di dalam diri Tery yang belum dieksekusi. Intinya, aku ingin membuka matanya kembali, menyeretnya agar menulis lagi.

Bagaimana caranya? Aku hanya salah satu penggemar yang kebetulan jadi teman.

"Kata-kata itu bisa menentukan mood seseorang. Bisa menyemangati atau mengendurkan, tergantung cara memandang." Blueray melirik sekilas ke arahku, mengangkat naskah yang ada di tangan kecilnya. "Benar, kan?"

Otakku mencerna ucapan anak kecil itu dan sebuah ide terlintas. Blueray benar, kata-kata. Beberapa saat lalu, aku pernah merasa jatuh dan sangat sedih gara-gara ulasan negatif seseorang tentang novelku. Hal itu mempengaruhi mood serta caraku menilai diri sendiri. Sebaliknya, kata-kata positif juga akan membangkitkan semangat.

Ya, kata-kata adalah mantra ajaib.

"Terima kasih, kau memberiku saran yang bagus." Aku mengelus kepala Blueray. Anehnya, kali ini ia tidak marah-marah atau malu karena kuperlakukan seperti ini. Anak kecil berwajah imut itu tersenyum tipis dengan tatapan mata lembut.

Tubuh kecilku segera melesat keluar dari kubikel dan menemui Cherry. Dengan cepat, setelah aku menyampaikan maksud dan rencana, Cherry yang mengenakan kaos santai itu memberiku alamat Tery. Dia bilang kalau Tery membeli sebuah rumah kecil khusus untuk menulis dan biasanya bersemedi di sana.

Setelah mendapat alamat Tery, aku mencari informasi tentang penulis favorit Tery. Aku ingin meminta bantuan para penulis yang dikagumi Tery untuk memberinya sepatah-dua patah kalimat penyemangat. Bukankah akan sangat membahagiakan jika kita menerima kata-kata dari orang-orang yang kita sukai atau memengaruhi kita? Aku yakin, Tery akan merasa terbakar jika mendapat dukungan penulis favorit.

Ngomong-ngomong, aku juga didukung oleh Dilly, kan? Dia adalah penulis favoritku di saat kecil meski baru ketahuan akhir-akhir ini. Dan, kata-kata dukungannya meski menyebalkan itu membuatku senang. Rasanya membuat diriku menggebu-gebu.

Aku menghubungi Sea, penerbit Y yang rutin menelurkan karya Tery setiap tahun rupanya tengah kebingungan juga dengan sikap Tery. Sea memberiku alamat penulis-penulis senior yang disukai Tery. Dia juga menyarankan untuk mengumpulkan para penggemar Tery, memberitahu Tery kalau dirinya dibutuhkan di dunia novel Indonesia.

Dunia Kepenulisan II [TAMAT]Where stories live. Discover now