Desember ~ 1

67K 4.7K 240
                                    

Sudah kesekian kalinya aku mendengar suara ayam berkokok, itu pertanda aku harus bangun dari tempat tidur.

Kakiku melangkah keluar dari kamar dan melihat jam di dinding yang menunjukkan pukul 5 pagi. 

"De-des, sudah ba-bangun?"

Aku tersenyum dan mengangguk ke arah suara pria paruh baya itu.

Itu adalah bapak kandungku. Bapak bukan gagap, tapi memang seperti itulah caranya berkomunikasi. Bapak memiliki keterbelakangan mental, namun tidak gila. Bapak bisa melakukan pekerjaan yang biasa di lakukan oleh orang normal lain nya. Dia hanya lambat memahami sesuatu, dan terlihat seperti anak kecil jika sedang berbicara pada siapa pun. Selebih nya bapak normal. Sementara ibuku, sudah 3 tahun yang lalu meninggal karena gagal ginjal.

"Hari ini bapak kerja?"

Bapak mengangguk semangat.

"Di sawah siapa?"

"Sawah tuan Ro-roni. Ba-bapak harus nye-nyemprot padi-nya yang 9 ra-rante," Ucap bapak sambil menunjuk kan angka 9 dengan jari tangan nya padaku.

"Yaudah, Dedes masak sarapan pagi dulu ya. Bapak tolong bangunin Bastian, biar gak telat pergi ke sekolah."

"I-iya Bastian ti-tidak boleh telat ke se-sekolah. Bastian harus pin-pintar," Gumam bapak dan langsung ke kamar.

Bastian adalah adik laki-laki ku. Umur nya sudah 17 tahun dan sebentar lagi akan lulus SMA.

Aku dan bapak sudah menabung uang untuk masa depan Bass. Kami bertekad akan mengkuliahkan dia sampai sarjana. Karena apa? Karena Bass anak laki-laki, dia harus memiliki masa depan yang lebih bagus dariku. Suatu hari nanti saat dewasa, dia akan meminang seorang perempuan. Jika dia tidak punya pendidikkan maka dia akan susah mencari kerja. Sementara kalau mau melamar seorang perempuan, harus memakai uang bukan?

Itulah yang menjadi pertimbangan diriku, kenapa Bass harus kuliah setelah lulus SMA. Aku tidak mau dia menjadi pengangguran atau menjadi petani di kampung ini, lagian kami juga tidak punya sawah untuk kami kelola.

Bapak hanya seorang pekerja harian di sawah orang. Dan aku, hanya seorang pembantu di rumah salah satu keluarga terpandang di kampung ini. Pekerjaan ku mencuci baju, piring, memasak, menggosok dan membersihkan rumah di keluarga Prasaja.

Gaji nya sebulan lumayan cukup untuk menghidupi kebutuhan keluargaku sehari-hari. Walaupun kedua tangan dan kaki ku harus melepuh akibat terlalu sering terkena sabun cuci.

Tapi tak apa, selama aku bisa mendapatkan uang, aku ikhlas. Bagi ku mendapatkan uang seribu saja sudah seperti mendapat uang 100 ribu.

Tragis bukan?

Yah begitulah hidup keluarga kami. Setidak nya kalian harus bersyukur jika memiliki hidup di penghasilan atas rata-rata.

Karena apa?

Karena dunia itu sangat kejam bagi orang-orang yang tak punya, seperti kami.

Ingin menangis?

Aku rasa, air mata ku sudah habis untuk itu. Jika ini dunia fantasi, mungkin air mata ku yang keluar itu adalah tetesan darah, karena kejam nya dunia ini terhadap keluargaku.

Masyarakat di sini selalu memandang kami dengan sebelah mata. Keluarga ku di kucilkan karena keterbelakangan mental yang di miliki oleh bapak. Hanya sebagian orang yang baik pada kami di kampung ini, dengan memberi pekerjaan pada bapak untuk menggarap sawah yg mereka punya.

Aku mengambil kuali dan meletakkan nya di atas kompor, lalu memanaskan minyak di atas nya. Setelah itu aku menggoreng ikan asin ke dalam minyak. Sambil menunggu ikan masak, aku menggiling sambal untuk sayur terong nya. Bapak dan Bass suka dengan terong sambal.

Hello, December!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang