Chapter 2 Bagaimana Selanjutnya?

21.5K 1.5K 42
                                    

Darrel langsung bangkit berdiri dari meja sembari menarik tangan Elora begitu dirinya selesai mengatakan kalimat itu. Mau tidak mau Elora juga ikut bangkit berdiri dari kursi, mengikuti Darrel dari belakang. Mereka berdua sama-sama berjalan keluar kelas.

Semua murid yang berada di dalam kelas itu sontak melemparkan tatapan aneh ke arah mereka. Mereka bukannya bingung mengapa Darrel bisa seenak jidatnya ngomong seperti itu, karena memang pada dasarnya Darrel suka bertindak semaunya. Tapi mereka kaget, karena ini pertama kalinya Darrel mengakui seseorang sebagai pacarnya, dihadapan banyak orang pula. Belum pernah sekali pun cewek populer di sekolah ini yang Darrel perlakukan seperti itu. Dan cewek yang dipilih itu malah cewek seperti Elora. Bukannya kenapa, hanya saja, Elora bukanlah cewek populer atau apa pun, dia hanyalah cewek biasa. Lagi pula, siapa yang tidak tahu kalau Elora sudah mempunyai pacar? Lalu, mengapa Darrel bisa seenak jidatnya memberitahu semua orang bahwa Elora itu pacarnya? Semua ini patut dipertanyakan.

Darrel langsung melepaskan tangan Elora begitu mereka sampai di koridor sekolah yang sepi. Elora memegangi tangannya yang sedikit merah karena genggaman tangan Darrel yang agak kuat terhadapnya.

"Karena sekarang lo udah jadi pacar gue, jadi nanti setiap jam istirahat, lo ke kelas gue," perintah Darrel seenaknya.

Mendengar itu, kedua mata Elora langsung terbelalak kaget. "Eh, bentar-bentar, tunggu dulu. Perasaan gue nggak ada tuh mengiyakan perkataan lo tadi," sanggah Elora tidak terima.

"Lo nggak perlu iyain. Karena itu bukan ajakan, tapi pernyataan," jawab Darrel cepat.

"Tapi, gue nggak mau," bantahnya. Nada bicara Elora tiba-tiba meninggi.

Darrel berdecak sembari menyisir rambutnya ke belakang dengan jari-jari tangannya. "Lo tahu, nggak? Di sekolahan ini cuma lo yang berani nolak gue."

Elora langsung mendengkus. "Jelas gue berani. Gue udah punya pacar, jadi gue mohon sama lo jangan aneh-aneh. Gue tahu sebelumnya gue udah lancang ngintipin lo di kantor guru, gue minta maaf. Plis, bilangin ke mereka kalau tadi itu lo cuma bercanda." Kali ini, Elora menatap Darrel dengan tatapan memohon.

Darrel mengibaskan tangannya sembari tertawa kecil. "Oh, nggak bisa. Apa yang udah keluar dari mulut gue, nggak bisa ditarik balik. Lagian, kenapa, sih? Gini-gini gue juga lebih baik dari pacar lo si Ali itu." Darrel berucap dengan pedenya.

Dahi Elora mengernyit, kemudian alis matanya bertaut. Ia melirik Darrel dari atas sampai bawah dengan tatapan tidak suka. "Mohon maaf, nih, gue nanya sekarang. Lebih baik dari segi mananya? Penampilan? Akademis?"

Darrel memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Semuanya," jawabnya tanpa menghadap ke lawan bicaranya.

Detik itu juga, Elora tertawa mendengar jawaban Darrel. "Lo lucu, tahu nggak? Pedenya keterlaluan. Nih, ya. Dari segi penampilan, Ali jauh lebih rapi dan bersih. Lo berantakan banget. Rambut acak-acakan dan melebihi batas yang ditentukan. Sepatu bukannya warna hitam, malah warna-warni. Suka buat onar, langganan masuk kantor guru," ucap Elora menggebu-gebu. Ia jadi emosi mendengar ucapan Darrel tadi.

Darrel tersentak begitu mendengar ucapan Elora. Baru kali ini ada cewek seberani dia. Pikirnya begitu.

"Lagian, lo ngapain, sih, ngaku-ngaku kalau gue itu pacar lo? Gimana coba kalau nanti berita ini sampai ke Ali? Bisa mati gue," cerocos Elora. Ia menepuk jidatnya, saat ini dia tidak tahu harus berbuat apa lagi. Karena saking paniknya, dia pun sampai lupa kalau dari tadi dia berbicara dengan Darrel seolah-olah lelaki itu adalah temannya.

Akibat mulut Darrel yang asal ceplas-ceplos kayak telor ceplok itu, dia mendapatkan masalah dengan Ali. Pokoknya, Elora masih bingung dan tidak habis pikir dengan Darrel. Kenapa bisa-bisanya dia terlibat dengan orang seperti Darrel? Elora merutuki kebodohannya. Dia benar-benar tidak mau berurusan dengan bad boy seperti Darrel, apalagi dekat-dekat dengannya.

Darrel tertawa kecil. "Santai aja kali. Tapi, yang tadi gue bilang itu emang benar, kok."

Sebenarnya, kalau boleh jujur tadi Elora agak takut karena hanya berduaan saja dengan Darrel di koridor yang sepi ini. Tapi, perasaan takut itu kini sudah tergantikan dengan perasaan kesal dan marah.

Selama satu menit, mereka saling diam. Elora melipat kedua tangannya di depan dada sambil menghadap ke arah lain dan menggerutu sendiri. Sedangkan Darrel hanya menatap Elora sambil mengulum senyumnya.

Merasa sedang diperhatikan, Elora lantas melirik Darrel dengan sinis. "Udah, sana jauh-jauh. Entar malah digosipin yang nggak-nggak lagi sama mereka."

Baru saja Elora akan beranjak pergi, pergelangan tangannya langsung ditahan oleh Darrel. "Mau ke mana?" tanyanya spontan.

"Lo nggak perlu tahu," jawab Elora ketus, dirinya berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Darrel.

"Lepasin, nggak?" Elora berdecak sebal seraya menautkan kedua alisnya.

Saat ini jantung Elora sudah berdegup tidak keruan. Bukan, bukan karena Darrel yang sedang memegang tangannya, tapi karena dirinya tiba-tiba jadi takut. Dia tidak tahu apa isi pikiran Darrel. Sebenarnya, apa, sih, mau lelaki ini?

Beberapa detik setelah Elora mengatakan kalimat itu, Darrel langsung melepaskan tangan Elora dan dengan cepat perempuan itu pergi.

Baru saja dirinya berjalan beberapa langkah, Elora dapat merasakan kalau dari tadi Darrel mengikutinya. Dia sudah menahan emosinya dari tadi. Kenapa coba Darrel harus mengikuti ke manapun dirinya pergi?

Tanpa aba-aba, Elora langsung berbalik badan dan menginjak kaki kanan lelaki itu dengan keras. Darrel sontak mengaduh kesakitan sambil memegangi kakinya. "Kenapa ikutin gue?" Elora mengangkat satu alisnya sembari bertanya.

"Takut lo kenapa-napa," jawabnya spontan, tanpa berpikir panjang.

"Yaampun, demi monyet yang lagi makan pete, ya, gue nggak akan kenapa-napa. Underwear?" Elora menekankan setiap kata yang ia ucapkan.

Langsung saja Darrel menjitak pelan kepala perempuan itu. "Understand, bukan underwear," ralatnya sambil terkekeh pelan.

Elora memutar kedua bola matanya dan sedikit menjauhkan diri dari Darrel. "Ya... terserah gue, dong. Lagian, itu emang sengaja dilencengin, kok."

"Ah, masa?" tanya Darrel dengan jahil, satu alisnya terangkat.

Elora tidak mau menghabiskan tenaganya hanya untuk meladeni Darrel. Jadi, dia memilih untuk pergi secepat kilat. Tapi, samar-samar suara Darrel masih dapat dia dengar.

"Entar pas pulang gue jemput."

Itulah kalimat terakhir yang diucapkan oleh Darrel sebelum akhirnya Elora pergi meninggalkannya.

Setelah berjalan cukup jauh, kini koridor sudah mulai ramai dengan siswa-siswi. Elora menghadap ke belakang, syukurlah ternyata Darrel tidak lagi mengikutinya. Sekarang, Elora baru bisa bernapas lega.

Pokoknya, mulai saat ini dia harus waspada dengan Darrel. Sudah suka buat onar, suka keluarin kata-kata manis tapi beracun, suka ngeles, suka bertindak semaunya, pokoknya tidak ada yang bagus dari diri lelaki itu.

Setelah Elora selesai menyimpulkan semua sikap buruk Darrel, dia baru sadar kalau dari tadi semua murid tengah melihat ke arahnya. Kemudian Elora mengalihkan pandangannya, tepat beberapa langkah di depannya, Ali sudah berdiri dengan wajah datar. Senyum yang biasanya terukir di wajah lelaki itu setiap kali melihat Elora, kini sudah tergantikan dengan wajah datar tanpa ekspresi. Belum pernah Elora melihat Ali seperti ini. Dia merasa takut sekaligus canggung.

Ali maju beberapa langkah. "Ikut gue." Hanya dua kata itu yang diucapkan oleh Ali, lalu dirinya langsung berjalan mendahului Elora.

Bahkan, Ali sama sekali tidak menggandeng tangannya. Dia hanya mengucapkan dua kata itu, lalu pergi mendahului Elora, memberikan isyarat pada perempuan itu untuk mengikutinya.

21 September 2016

Good or Bad?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang