Tanpa mengatakan apa pun, aku hanya melihatnya lagi. Kata yang belum terselesaikan mengisi hatiku. Dan menunggunya.

Jika aku melangkah ke arahnya, aku takut air mata yang kusimpan akan mengalir. Jika dia merasakan hal yang sama, aku saja yang akan pergi padanya dengan perlahan-lahan karena aku tidak ingin melihatnya menangis. Tetapi, kenapa aku tak sanggup? Maafkan aku.

Ketika aku melihatnya lagi, air mata terus datang. Air mata tidak henti-hentinya ingin ditumpahkan. Pada akhirnya hatiku yang tersakiti. Tak apa.

Aku tidak sanggup berjalan ke arahnya. Tetapi jika dia sudah tidak tahan dan sanggup untuk berdiri di sana, berjalanlah ke arahku Shania. Dengan tangis sekali pun, tak apa. Aku akan coba meredakan. Seperti biasa.

Rengkuh tubuhku erat, Shania...

Aku butuh pelukanmu.

Dan ya, perlahan aku melihat dia melangkahkan kaki menuju ke arahku. Langsung memeluk tubuhku erat seperti tak ingin berpisah dan tak ingin melepaskan. Aku rasa, aku tidak dapat bernapas normal karena tubuhku dipeluknya sangat erat.

Aku membalas pelukannya. Lalu berbisik pelan, "Aku pikir kamu masih ingin sok kuat dengan tetap berdiri di sana tanpa menghampiriku."

Dia menggeleng dan mempererat pelukannya.

"Kenapa kamu nggak menghampiri aku!?" katanya disela pelukan eratnya.

"Hei, tolong kendorkan pelukanmu. Aku nggak bisa bernapas dengan normal."

Dia kembali menggeleng. "Biarin, salah sendiri!"

Aku rasa, ini pelukan tererat dan ternyaman dari sebelum-sebelumnya. Sungguh.

"Aku nggak mau. Aku akan terus memelukmu seperti ini. Aku nggak mau berpisah, aku ingin terus bersamamu."

"Kita hanya beda tim, bukan beda dunia. Jadi nggak perlu cengeng. Wajah kamu jadi jelek tahu!"

Hufft di saat seperti ini, aku malah berusaha sok kuat dan meledeknya. Karena aku tahu, kalau aku ikut menangis, dia pasti akan tambah bersedih. Aku tak ingin melihat wajah manisnya menjadi luntur karena air mata yang tak dia inginkan.

"Beda tim, bisa mengubah. Mungkin nggak semuanya, tapi perlahan-lahan."

Dia mengatakan kalimat yang membuatku merasa tambah lemas. Dia melepas pelukannya, sesaat. Mengamati wajahku. Sial. Dia tahu kalau ternyata aku juga ikut menangis.

"Kamu juga jelek. Lebih jelek dari aku karena kamu juga menangis. Coba lihat wajah kamu malah lebih kucel dari aku tahu!"

"Kamu kok jadi mengatai aku?"

Dia mengacak rambutku dan tersenyum.

"Kamu nggak perlu berpura-pura seperti ini, nanti kamu bakal rindu aku, Beb,"

"Jangan tersenyum saat kamu lagi menangis. Senyummu jadi nggak semanis biasanya tahu."

"Biarin,"

Beberapa detik kemudian dia kembali menyerah di pundakku dan kali ini dengan tangis lebih dalam sampai aku bisa merasakan pundakku basah karena air matanya.

Dia kembali menegakkan kepalanya lalu menatap wajahku lekat. Namun tangannya masih saja usil mengacak-acak rambutku dengan senyum palsunya itu. Namun kuakui, senyumnya tetap terlihat manis, tadi aku bohong. Aku memang suka jika dirinya tersenyum, karena senyumnya selalu menyenangkan untuk dilihat. Senyum yang selalu aku nantikan dan akan selalu aku rindukan.

Aku membayangkan dia menahan rasa ini setiap hari, itu semakin sulit. Orang yang dia cari nanti pasti adalah aku. Ya, kamu tahu itu, kan? Walau pun dia terbilang cuek dan tidak ingin peduli terhadapku, tapi aku tahu, dia selalu mengharapkan adanya aku untuk sekedar berada didekatnya.

Dia punya gengsi yang besar.

Disela pelukannya yang erat ini, dia tidak berkata lagi, dan tentu aku tahu. Perasaan begitu sedih. Aku malah membayangkan ketika aku dan dia sudah waktunya berpisah, pasti aku akan memikirkannya, dan air mataku selalu datang. Lalu aku tertawa dengan mirisnya.

Aku tidak terbiasa seperti ini, karena dari awal aku dan dia selalu bersama walau tak setiap hari. Membuat momen untuk membahagiakan satu sama lain, yang mungkin sekarang hanya untuk dikenang. Mustahil sekali untuk diriku bisa bertemu dengannya setiap hari, itu tidak mungkin.

"Jabatan penting kamu masih bertahan. Selamat ya! Masih diberi kepercayaan. Jangan sampai ingin digantikan, oke? Kamu juga sudah mempunyai kesibukan yang luar biasa dari aku. Jaga kesehatan selalu dan makan yang banyak!"

Ya, kenapa aku bisa bilang begitu? Aku dengannya masih satu group, hanya berbeda team. Tetapi kenapa begitu menyedihkan?

Sahabat terbaikku adalah dia. Shanju. Sebuah persahabatan yang begitu dahulu sangat kuinginkan. Aku ingin tetap berdiri di sampingnya seperti saat ini. Masih ingin memeluknya untuk berusaha meredakan dan menenangkan walau pun pada akhirnya aku juga ikut terhanyut menjadi orang cengeng sepertinya.

Aku tidak ingin pelukan ini menjadi yang terakhir kalinya.

Aku tidak ingin pelukan ini menjadi yang terakhir kalinya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Terhitung 1 Desember. Walau pun kita berbeda team, ketahuilah bahwa aku tak sepenuhnya pergi dari kehidupanmu. Jadi kalau ada waktu luang, jangan gengsi untuk bilang dan aku akan mengajakmu bermain. Kita bersenang-senang menikmati waktu yang terbilang singkat untuk kembali membuat kenangan.

"Aku di sini, di mana pun, walau mungkin tidak terlihat dekat, tapi selalu berharap yang terbaik untuk Shania."

- Beby

PisahWhere stories live. Discover now