Chapter 19. Stay

1.3K 139 11
                                    

"Kamu nggak cukup kuat untuk menghadapi orang sepertiku, Delia!"

Tapi aku tidak peduli.

"Aku tidak ingin pergi," tukasku, final. Kupanjat bar stool dan kududukkan pantatku di atasnya. Kedua tanganku berada di atas meja, terlipat, menunjukkan bahwa tekadku tidak akan mudah dibengkokkan. Bahkan oleh Darya. Jika aku mulai bersikeras, dia akan menurut, atau membiarkanku berbuat sesukaku.

"Aku lapar, bisakah kamu membuat sesuatu?" pintaku tanpa memedulikan Jessica yang terus mengeluh.

Dia mendengus panjang, tapi aku tahu dia tidak kesal terhadapku. Aku tahu dia menyukaiku, dia menginginkanku, dan aku tidak bisa menjelaskan mengapa aku tidak merasa terganggu. Sebaliknya, aku berada di sini, seolah aku ingin tahu apa yang akan terjadi pada kami berdua. Wanita itu menyalakan kompor, membuat daging asap yang masih tenggelam di dalam sedikit minyak di atas teflon mendesis lagi. Kudiamkan dirinya yang melanjutkan mengocok telur, kemudian memasukkan adonan ke atas tumisan daging asap.

"Apa Phillip kembali kemari setelah hari itu?" aku bertanya, tiba-tiba teringat bahwa aku belum bertanya pada Peter tempo hari. Kupikir, apa salahnya memuaskan rasa ingin tahuku sekarang.

"Kamu nggak masalah dengan keju?" alih-alih menjawab, Jessica balik bertanya.

Aku menggeleng, mendiktenya, "Don't be too salty."

"I know," Jess mendesis. BIsa kupastikan bahwa Jessica tahu benar konsumsi garam berlebih tidak baik untuk tekanan darah, memicu stres, dan rawan untuk kondisiku. Kondisi kami. Aku hanya sedikit menggodanya. Kekesalannya yang tak kunjung surut pada kekeraskepalaanku untuk tinggal membuatku agak jengkel.

Setelah itu, aku menghabiskan waktu menunggu dengan berdiam diri, menopang dagu, memerhatikan Jessica dalam celemek bergerak lincah di hadapanku. Berkali-kali mata kami bertemu, dan dia selalu lebih dulu membuang tatapanya ke arah lain.

Aku tahu Jess, seperti halnya diriku, memiliki mood swing gila-gilaan, bahkan seolah tampak seperti kepribadian yang berbeda. Padahal belum tentu. Bisa saja kami hanya sedang dalam mood yang sepenuhnya berbeda. Kadang di pertemuan pertama dengan orang lain kami bisa begitu merepotkan, tapi di kesempatan kedua, kami sama sekali mandiri. Akan tetapi, karena aku tidak pernah menghadapi mood swinger selain diriku sendiri, aku merasa janggal mengatasi sikap Jessica pagi ini. Aku sudah melihat sisi seksi dan tegarnya pada jumpa pertama kami, aku juga sudah melihatnya lantak tempo hari, tetapi, entah mengapa, melihatnya begitu santai dalam merespons kabar Marlin terasa kurang nalar bagiku.

Senyumku melebar menerima sepiring omelet yang masih mengepulkan uap panas, dengan sigap kurain sebuah garpu dari Jess, dan meraup sesuap besar ke mulutku.

"Hati-hati. Panas," peringatnya.

Memang panas, aku membuka mulutku lebar-lebar dan mengipasnya dengan tangan sampai uap panasnya menghilang. Jess duduk di sisiku, meniup suapannya dengan anggun. Aku tidak pernah tahu, yang mana dirinya yang sebenarnya, setidak tahu kepada diriku sendiri. Aku merasa normal kali ini, tapi mungkin saja aku tidak punya kondisi normal sama sekali. Di suapan kedua, aku belajar dari pengalaman. Kubiarkan uap panasnya berkurang, baru kudorong ke dalam mulut.

"Delia ..." Jessica memanggil. Aku berdeham. "Saat suamimu meninggal, apa yang kamu lakukan?"

Aku tidak menduga Jessica akan mengajukan pertanyaan semacam itu, dan aku menyadari betapa berbedanya posisi kami. Aku sangat kehilangan Darya, sedangkan dia beruntung terpisah dengan suaminya.

"I am sorry," katanya, "lupain aja. Finish your meal."

Sejujurnya, bagiku, beratnya menceritakan kembali mengenai kesedihanku ditinggalkan Darya dan Bastian tidak lagi semenyesakkan dulu. Mungkin—wajah Peter berkelebat di ingatanku—karena Peter sudah menghapusnya sedikit demi sedikit. Aku harus menemui Peter. Aku tidak ingin mendorongnya menjauh, aku hanya sedang tidak stabil saat aku berpikir aku tidak menginginkannya.

BROKENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang