Chapter 15. Wrath

1.5K 177 26
                                    

"Philliph?" alis Jess berkerut. "Oh! Philliph!"

"Aku melihatnya di luar rumah saat hendak masuk ke dalam. Dia—"

Dering telepon terdengar samar sebelum aku menyelesaikan kalimat. Serempak, aku dan Jess melirik ke arah pintu. Aku meninggalkan tasku di ruang tamu. Mengingat petang sudah menggelincir, itu pasti telepon dari orang rumah, atau Peter. Baru aku akan menyingkirkan kepala Jess dari pangkuan, dia mengeratkan genggamannya di tanganku.

"Sebentar lagi ...," pintanya.

Seingatku, aku tidak pernah memohon kepada seorang pun untuk tinggal, kecuali Darya. Pernah satu kali kami bertengkar hebat, dan Darya memutuskan bahwa aku butuh waktu sendiri, aku mencegahnya. Aku memohon agar dia tinggal. Seperti pasir yang diserbu ombak, dengan satu permohonan, semua kesalahanku di mata Darya sirna. Darya memelukku, menyesali ucapannya. Tidak sekali pun dia berniat meninggalkanku, katanya. Itu adalah pertama dan terakhir kalinya dia nyaris menyerah menghadapiku.

Aku melakukan hal yang sama kepada Jessica kini, mengesampingkan betapa khawatir keluargaku saat mereka mendapatiku meninggalkan rumah tanpa pesan. Seharusnya aku menulis sesuatu di post-it dan menempelkannya di kulkas, tetapi tadi aku terlalu panik untuk melakukannya. Jessica membutuhkanku, hanya itu yang terlintas di benakku saat aku memesan Uber.

"Aku mungkin harus mengangkatnya," aku berkata pelan.

"Ya, sebentar lagi," ucapnya, bersikeras. "Bukankah kamu ingin dengar soal Philliph?"

Aku diam, tidak membantah.

Lagi pula ... pahaku terasa sangat nyaman ketika seseorang meletakkan kepalanya di sana. Terakhir kali hal ini terjadi padaku adalah ketika dua adikku masih anak-anak. Saat aku beranjak dewasa, aku lebih sering menjadi pemilik kepala yang bersandar pada mereka. Entah mengapa, aku ingin mengelus rambut Jess, dan aku melakukannya.

Jess melenguh nyaman, seperti seekor anjing.

"Philliph masih ada hubungan saudara dengan Jeremiah. Mereka sepupu. Aku malah mengenal Philliph lebih dulu dibanding sepupunya itu. Aku dan Philliph sudah sangat akrab, jauh sebelum Jeremy mulai mendekatiku."

Tidak ada komentar terlontar dari mulutku, aku diam mendengarkan, seraya bertanya-tanya.

Apakah Jeremy sama seperti Peter? Mereka menyukai wanita-wanita depresi yang usianya jauh di atas mereka? Aku merasa agak miris saat mengatakannya, tapi begitulah yang kupikirkan. Meski aku tidak pernah bertanya, aku memprediksi usia Philliph berkisar di sekitar usiaku, sedangkan Jess, dia ... mungkin sekitar tujuh sampai delapan tahun di atas kami. Memang dia sangat menawan dan pandai membawa diri, tapi sebagian dari diriku yakin, kematangan itu datang dari usia dan pengalaman hidupnya.

"Dia masih berpikir bahwa nasibku akan jauh lebih baik jika bersamanya. Dia kemari untuk meyakinkanku, tapi dia datang di saat yang tidak tepat. Dia bahkan menamparku saat kubilang aku masih belum bisa melupakan Marlin."

Aku menjengit, gerakan tanganku yang mengelus rambut Jess berhenti.

Menampar? Philliph? Seorang pria yang rela menghabiskan malam minggu untuk menunggui Ibu dan adik perempuannya berbelanja? Pria yang mau menolong orang tak dikenal sepertiku, bahkan sampai memanggilkan dokter, dan membiarkan orang asing masuk ke dalam rumah mewahnya?

"Delia ...."

Panggilan Jessica menyentakku, membuyarkan bayanganku mengenai Philliph, tanpa pikir panjang, aku kembali mengelus rambutnya.

"Kamu jijik?" Jess bertanya lirih, terdengar seperti merintih.

Aku menghentikan elusanku, mungkin dia tidak menyukainya.

BROKENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang