Chapter 4. Sad Girl

2.8K 358 42
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Beberapa bulan sejak kematian Darya dan Bastian, aku seperti mayat hidup. Aku hampir tidak bisa mengingat apa saja yang kulakukan dalam beberapa bulan pertama setelah musibah terjadi. Bahkan, ada saat-saat di mana aku tidak bisa melakukan sesuatu untuk diriku sendiri, seperti mengganti pakaian. Saat berada di titik terendah, aku menolak merespons tuntutan metabolisme tubuh akan lapar, lelah, haus, atau membersihkan diri. Bisa kubilang, itu adalah masa-masa paling sulit dalam hidup orangtua dan saudara-saudaraku, tapi tidak bagiku. Justru ... saat tersulit bagiku adalah ketika aku mampu melewati fase itu.

Pada saat aku mulai setuju untuk mendatangi sesi terapi, berobat ke dokter, dan menjalani kembali kehidupanku yang sempat kulewatkan—di situlah kengerian sebenarnya kurasakan. Saat rasa bersalah itu menggerogoti kesadaranku. Aku mulai menelan obat penenang lebih banyak dari yang dianjurkan, sebab aku merasa tidak pernah cukup. Meski aku tidak menganggapnya sebagai usaha bunuh diri, tapi pada kenyataannya, aku memang diangkut ambulans karena overdosis obat penenang.

Melihat Ayahku menangis di samping tempat tidurku ketika aku siuman adalah pukulan terberat kedua, tapi juga merupakan titik balik yang membuatku bertekad untuk mengentaskan diri dari depresi berat kehilangan Darya. Ayahku mengingatkanku kembali bahwa sebelum Darya datang, aku selalu bisa mengandalkannya.

Membayangkan bahwa aku tidak sendirian, sedikit banyak mempengaruhi keingananku untuk bangkit. Kami sering menghabiskan malam berdua setiap kali mataku sulit terpejam, saat semua orang di rumah sudah lelap. Kami membicarakan pekerjaannya, atau apa pun. Ayahku gemar minum anggur, dia kadang minum untuk membantunya tidur. Karena aku sudah cukup umur, kami lantas minum berdua.

Aku mulai merasakan ketenangan dari hangatnya anggur.

Selang beberapa waktu, aku tidak lagi minum hanya jika Ayah minum. Aku mulai membawa minuman ke dalam kamar setiap kali tidak menemukan Ayah begadang di ruang keluarga atau kamar kerjanya. Lama kelamaan, segelas anggur tidak lagi cukup menenangkanku. Sampai kemudian Ayah mengatakan aku harus mengurangi kebiasaan minumku yang berlebihan, aku tidak pernah menyadari seberapa banyak yang kuhabiskan dalam semalam.

Aku tidak pernah tahu, sejak kapan aku kecanduan.

Sesi rehab alkohol berlangsung alot, tapi kulalui dengan cukup baik. Tidak ada yang menyangka, saat aku berada dalam kondisi stabil tanpa pengaruh eksternal apa pun, aku justru melakukan usaha bunuh diri yang sesungguhnya.

Kepalaku dipenuhi bisikan.

Bisikan itu tidak lagi menyalahkanku akan kematian Darya dan Bastian, melainkan membujukku untuk meraih kebahagiaan yang kuidamkan. Kebahagiaan yang selama ini tak kunyana karena asyik sibuk sendiri dengan perasaan bersalah. Impianku yang tidak pernah ku-upgrade sejak Darya hadir dalam hidupku, yaitu sehidup semati bersama dengannya. Selamanya.

Dan ketika pada suatu malam aku terjaga karena bisikan itu seakan menggoncangkan organ dalam kepalaku—saking kuatnya—pecahan gelas kaca yang luput dari tanganku seolah memanggil-manggil. Aku meraihnya tanpa pikir panjang, dan menggoreskannya tepat di pergelangan tanganku.

BROKENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang