Bagian 02

36.7K 3K 74
                                    

Bagian 02

Sedari tadi, Ali memeluk dan membawaku untuk duduk di sebuah kursi empuk. Dia membisikkan kata maaf berkali-kali. Dia benar-benar membuatku ketakutan. Ini memang bukan untuk yang pertama kalinya, tetapi dia benar-benar terlihat sangat mengerikan.

"Tadi itu bukan Bintang yang telepon. Ya, memang tadi aku lagi ngomong sama Bintang. Tapi bener deh, aku nggak bilang kangen sama dia. Tadi aku mau bilang kangen sama sahabat-sahabatku, eh kamu keburu salah paham. Kamu percaya kan, sama aku?" Aku mendongak menatapnya yang tengah memperhatikanku.

"Aku akan selalu coba buat percaya sama kamu."

"Jangan kayak tadi lagi. Aku takut, Ali."

"Nggak janji. Aku akan beneran melakukan itu kalau kamu masih dekat sama cowok lain." Aku bergidik membayangkan wajah cantikku tergores belati.

Ali adalah lelaki yang paling tidak terima saat aku luka sedikit saja karena orang lain atau bahkan karena aku sendiri. Baik fisik mau pun batin. Misalnya, saat aku terjatuh karena keseleo, dia akan marah-marah padaku sepanjang hari. Mengatakan kalau aku ini ceroboh lah, tidak dapat menjaga diri lah, bosan hidup lah, dan lain-lain. Tapi dia sendiri begitu teganya melukaiku menggunakan belati yang tidak perlu diragukan ketajamannya. Gila, kan? Sudah aku bilang, kalau dia itu kurang waras.

"Eumh...."

"Kenapa?"

"Prilly!"

"Itu... anu...."

"Yang jelas dong."

"Aku laper. Hm, aku laper. Kamu laper nggak? Aku buatin makanan, ya?"

"Ya, kamu masak aja. Aku mau ganti baju." Aku mengangguk dan setelah itu Ali pergi ke kamarnya. Aku menghela napas kasar.

•••

Aku membawa dua piring nasi goreng ke ruang tengah. Sepertinya Ali belum keluar dari dalam kamar. Aku meletakkan nasi goreng di atas meja, kemudian berjalan ke kamar Ali.

Tok! Tok! Tok.

Tidak ada sahutan. 

"Ali." Masih belum ada sahutan. Aku tidak berani untuk masuk ke kamarnya. Ali tidak pernah mengizinkan aku untuk masuk ke kamarnya. Katanya, belum muhrim. Orang macam dia mengerti istilah seperti itu juga. Bukan muhrim tapi dia mepet aku terus-menerus.
Tok! Tok! Tok.

"Ali, nasi gorengnya udah jadi. Kamu nggak makan?" Tidak ada sahutan juga.

Akhirnya, aku memutuskan untuk makan ditemani siaran televisi. Mungkin Ali sedang tidur. Dan itu artinya, aku harus menunggu sampai dia bangun. Sudah aku bilang dia itu protektifnya tidak wajar. Dia akan marah-marah kalau aku pergi sendirian. Bahkan dia akan melakukan hal yang lebih kejam daripada marah-marah.

Ceklek.

Aku menoleh ke arah pintu utama. Pantas saja aku panggil di kamarnya tidak ada sahutan. Orangnya sedang keluar. Ia berjalan santai ke arahku lalu duduk di sampingku dengan kepala menyandar pada bahuku. 

"Kamu dari mana, sih? Aku tadi panggil-panggil nggak ada nyahut. Kalau mau pergi tuh bilang. Nasi gorengnya keburu dingin kan." Dia mencubit bibirku gemas.

Psychopath Boyfriend [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang